top of page

MUSIK DAN TEKNOLOGI

(Makalah untuk Kelas Isolasi)

Septian Dwi Cahyo

 

1. INTRODUKSI

Perkembangan teknologi dari zaman ke zaman telah banyak berpengaruh terhadap kekaryaan musik dan aspek-aspek musik lainnya. Kita dapat melihat rinci fenomena kolaborasi/pemanfaatan perkembangan teknologi dalam perkembangan musik mulai dari penemuan artefak musik pada zaman batu hingga penggunaan algoritme, komputer, internet dan kecerdasan buatan di abad ke 20 dan abad ke 21.

Fenomena persinggungan musik dan teknologi ini pun memang tidak hanya sekedar sebagai pelengkap seperti pengarsipan digital dari sebuah karya sastra, namun perkembangan teknologi sendiri mampu digunakan secara substansial untuk merealisasikan ide-ide musik yang berkembang di zamannya (seperti yang penulis sudah singgung di paragraf pertama). Bahkan dalam perbincangannya dengan Pierre Boulez, Michel Foucault juga melihat bahwa… musik jauh lebih sensitif terhadap perubahan teknologi, jauh lebih terikat padanya daripada kebanyakan seni lainnya (dengan pengecualian mungkin pada sinema) (Boulez, Foucault, Rahn 1985:6).

Di dalam makalah ini penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat fenomena tersebut. Dan ada baiknya jika penulis mengambil sedikit referensi tentang perkembangan teknologi sebelum lebih dalam ‘membedah’ bagaimana teknologi mempengaruhi perkembangan di ranah musik. Menurut Budi Hartanto, teknologi dibagi menjadi beberapa fase:

1. Fase penggunaan otot, sekitar 1 juta tahun yang lalu. Fase ini ... menghasilkan alat bantu berupa batu, palu, tombak, busur, dan lain-lain (Hartanto 2013:ix).

2. Fase penggunaan binatang, budak, air, angin sekitar 3000 SM hingga 1700 M. Fase ini … menghasilkan alat pembajak, gerobak, kincir, perahu layar, huruf, dan percetakan (Hartanto 2013:ix).

3. Fase Revolusi Industri, sekitar 1700 M hingga 1940. Fase ini … menghasilkan listrik, mesin uap atau bakar, pesawat terbang, foto, dan film (Hartanto 2013:ix).

4. Fase Revolusi Energi, sekitar 1940 hingga 2000 M. Fase ini … menghasilkan pesawat ruang angkasa, televisi, nuklir, komputer (Hartanto 2013:ix).

5. Fase Revolusi Informasi pada abad ke 21. Fase ini adalah fase dimana … gejala cyberspace dengan sangat cepat mengimbas ke berbagai aspek kehidupan manusia (Hartanto 2013:ix).

Fase-fase perkembangan teknologi yang Hartanto sebutkan tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan manusia secara umum, namun juga mempengaruhi seni, khususnya musik. Pengaruh perkembangan teknologi tersebut … dapat memberikan inspirasi kepada kesenian dengan dua cara, perkembangan tersebut dapat memfasilitasi atau menginspirasi mereka (Johnson, 2017:17). Dan perkembangan teknologi akhirnya mampu memfasilitasi ide-ide musikal yang hanya mampu direalisasikan dengan bantuan teknologi yang muncul pada zamannya maupun setelahnya.

 

2. MUSIK DAN TEKNOLOGI PRASEJARAH HINGGA ABAD KE 18.

Penelusuran jejak perkembangan teknologi dan musik bisa kita lacak bukan hanya pada abad ke 20 sampai abad ke 21, kita bahkan kembali ke zaman paleolitik untuk melihat fenomena ini. Paleolitik adalah istilah yang diterapkan pada periode yang sangat luas, periode awal prasejarah manusia yang ... dimulai dengan bukti arkeologis pertama pembuatan perkakas batu (Toth 2013: 2), dan secara harafiah berarti ‘batu tua’ (paleo= tua, lithic= batu). Zaman paleolitik sendiri dibagi menjadi 3 periode: 1. zaman batu awal (sekitar 250.000 tahun lalu), 2. zaman batu pertengahan (sekitar 250.000 – 30.000 tahun lalu), 3. zaman batu akhir (sekitar 40.000 – 10.000 tahun lalu).

Pada zaman paleolitik, beberapa bukti arkeologis menunjukan bahwa sudah terdapat beberapa instrumen musik seperti: suling, pierced phalanges, bullroarers, rasp dan lain sebagainya. Bahkan beberapa orang menyatakan … bahwa gua itu sendiri, dan fitur-fitur dari gua, digunakan sebagai perangkat suara (Morley 2003: 24). Yang menarik dari temuan-temuan artefak instrumen di era pelolitik adalah bahwa beberapa instrumen terbuat dari tulang dan kayu, bukan hanya dari material batu. Bukti-bukti artefak musik dari era prasejarah pun ditemukan bukan hanya ada di zaman paleolitik, namun bisa ditemukan juga pada zaman logam misalnya, seperti zaman logam Nordic, dimana lur logam yang berbentuk seperti trompet yang melengkung … muncul dalam catatan Skandinavia dan Baltik (Killin 2018:24).

Perkembangan instrumen seperti pada era prasejarah juga terus berlanjut di era-era setelahnya, hal ini dapat dilihat dari perkembangan sistem mekanik beberapa instrumen musik yang berpengaruh terhadap kemungkinan permainan nada. Sebagai contoh adalah sistem valve pada alat tiup logam, yang mana memungkinkan untuk memainkan lebih banyak nada ketimbang sistem sebelumnya tanpa penggunaan valve.

Selain perkembangan teknologi mekanik instrumen musik, terdapat pula otomatisasi mekanik (automaton) bunyi seperti di La Joueuse de tympanon yang dibuat oleh Peter Kinzing dan David Roentgen pada tahun 1780an. Mesin bunyi ini berfungsi seperti kotak musik, dimana boneka yang memainkan harpsichord mini harus diputar dulu tuasnya agar dapat bergerak dan memukul senar-senar di dalam harpsichord mini.

Walaupun ‘otomatisasi’ di dalam musik sudah terjadi jauh sebelum ini seperti di sistem konversi teks ke nada oleh Guido de Arezzo, ataupun sistem musikal dadu dari Kirnberger, namun La Joueuse de tympanon merupakan salah satu automaton bunyi yang sesungguhnya. La Joueuse de tympanon adalah sebuah mesin bunyi fisik dan bukan hanya sistem abstrak seperti sistem Arezzo ataupun Kirnberger (karena sistem-sistem ini sekali lagi tidak berbentuk automaton seperti di La Joueuse de tympanon).

 

3. MUSIK DAN TEKNOLOGI DI ABAD KE 20

Seperti yang terjadi pada perkembangan sistem mekanik pada alat instrumen tiup logam di masa lampau, penemuan teknologi pada abad ke 20 juga sangat mempengaruhi warna karya musik pada saat itu. Pada abad ke 20, penemuan magnetic tape recorder mampu memfasilitasi komponis untuk melebarkan jangkauan bunyi mereka dan melahirkan aliran 'Musique Concrète' di Perancis pada awal tahun 1940an yang digawangi oleh Pierre Schaeffer. Salah satu karya pada aliran ini adalah 'Etude Aux Chemins De Fer' dari Pierre Schaeffer. Di karya ini ia memanfatkaan bunyi konkrit dari kereta api untuk dimanipulasi dengan teknik-teknik yang biasa digunakan di dalam musique concrète, seperti tempo yang dipercepat atau diperlambat, pembalikan, potong dan tempel, dan seterusnya.

Jika 'Musique Concrète' mengandalkan teknologi tersebut untuk memanipulasi bunyi konkrit seperti suara kereta api, tetesan air, dan lain sebagainya yang mereka rekam, maka penemuan teknologi elektronis lainnya dimanfaaatkan dengan model lain oleh para komponis di Jerman. Para komponis musik elektronik ini membuat musik berdasarkan gelombang-gelombang bunyi yang dapat dihasilkan oleh generator-generator bunyi yang mereka gunakan, salah satu tokoh dari aliran musik elektronik yang berkembang di Jerman ini adalah Karlheinz Stockhausen.

Selain magnetic tape recorder dan generator-generator bunyi, komputer merupakan salah satu penemuan teknologi mutakhir lainnya di awal abad ke 20 yang banyak mempengaruhi kekaryaan para komponis dan juga disiplin musik lainnya. Pengunaan komputer sebagai alat bantu pembuatan musik pun telah dimanfaatkan oleh Lejaren Hiller di dalam karya 'Illiac Suite' pada tahun 1957. Di dalam karya ini Hiller menggunakan bantuan Illiac (Illionis Automatic Computer) untuk menghasilkan bahan komposisi untuk karya kwartet gesek ini.

Penggunaan komputer untuk keperluan musik pun berlanjut dan ditandai dengan … pendirian studio komputer pertama yang didirikan di Eropa di Reijks Universiteit Utrecth/Belanda pada tahun 1964 dengan pimpinan komponis Gottfried Michael Koenig (Mack 2014:72) dan studio ini kemudian dinamakan 'Instituts voor Sonologie' (Mack 2014:72). Koenig juga mengembangkan program komposisi 'Projekt 1', program ini dirancang untuk membantu para komponis serial untuk menyusun materi-materi musik untuk karya mereka. Dan yang menarik, program ini telah dialih bahasakan ke program SuperCollider, sehingga kita tetap bisa mencobanya saat ini.

Program komputer untuk keperluan musik pun juga lahir dalam kerangka Bell Labs, dari Bell Labs sendiri lahir program komputer seperti MUSIC. Program ini digunakan oleh Max Mathews dan Joan Miller untuk membuat sintesis bunyi lagu 'Daisy Bell', sebuah lagu yang populer pada tahun 1892 dan dipopulerkan oleh Harry Dacre. Selain MUSIC, terdapat beberapa program lain guna keperluan sintesis bunyi dan produksi musik komputer/elektronik seperti Open Music, C Sound, Max Msp, SuperCollider dan lain sebagainya. Disamping untuk sintesis bunyi, terdapat juga program-program yang digunakan untuk keperluan penulisan notasi seperti Encore, Sibelius, Finale dan lain sebagainya.

Pada perkembangan terkini, perangkat-perangkat lunak tersebut banyak juga dikombinasikan dengan perangkat keras seperti nitendo wii, sensor kamera, sensor gerak dan lain sebagainya guna keperluan karya maupun membuat instrumen interaktif baru (seperti sensor kamera webcam yang digunakan untuk memicu bunyi). Tren terkini menunjukan bahwa perangkat-perangkat lunak berbasis sintesis bunyi itu juga biasa dikombinasikan dengan perangkat lunak lain yang basisnya bukan untuk bunyi seperti unity. Unity adalah sebuah perangkat lunak untuk membuat game dan dapat diintegrasikan ke Max Msp untuk membuat musik yang dikendalikan oleh gim1 dan dioperasikan oleh komputer. Kombinasi ini sendiri banyak digunakan oleh para komponis yang bergerak di wilayah musik gamifikasi.

 

5. TEKNOLOGI SEBAGAI PERPANJANGAN TUBUH MUSISI/KOMPONIS SERTA PERANNYA MENGUBAH ‘RUANG’ DALAM MUSIK.

Selain penggunaan komputer sebagai alat bantu untuk membuat musik, terdapat pula kegunaan lain dari komputer untuk keperluan musik, yaitu analisa musik, pembuatan instrumen virtual hingga asisten orkestrasi. Fenomena ini mengingatkan penulis terhadap bagaimana teknologi mengubah persepsi ruang, juga mengingatkan penulis tentang hubungan manusia dan teknologi yang dipetakan oleh Don Ihde.

 

5.1 Hubungan kemenubuhan dan hubungan hermeneutis antara teknologi dan musisi/komponis.

Jika lensa pada mikroskop ataupun teleskop mengubah persepsi atas ruang (memperbesar benda yang kecil, dan memagnifikasi benda-benda yang sangat jauh), maka teknologi komputasi mampu mengubah persepsi ‘ruang’ atas bunyi, yang sekaligus mempunyai hubungan kemenubuhan dimana … teknologi digunakan sebagai perpanjangan dari tubuh (Lim 2008:101). Relasi kemenubuhan2 dan bagaimana teknologi mengubah persepsi ‘ruang’ ini dapat kita lihat pada penggunaan spektogram untuk menganalisis materi yang membentuk sebuah bunyi tertentu.

 


Pada figur 1 penulis menganalisis rekaman bunyi instrumen kenong dengan bantuan fitur spektogram dengan menggunakan program Sonic Visualiser3. Pada gambar tersebut, spektogram menunjukan frekuensi-frekuensi yang membentuk warna bunyi rekaman instrumen kenong yang penulis gunakan sebagai bahan analisis. Spektogram tersebut mengubah persepsi ‘ruang’ terhadap suatu bunyi, yang membuktikan bahwa terdapat frekuensi-frekuensi lain dibalik bunyi kenong tersebut. Spektogram ini juga telah menjadi perpanjangan atas tubuh penulis untuk membedah frekuensi (‘entitas’) lain dibalik warna bunyi instrumen kenong4.

Teknik membedah bunyi ini juga digunakan oleh para komponis spektral untuk menyusun harmoni di karya mereka, dan pada titik ini, batasan harmoni dan warna bunyi (timbre) telah runtuh menjadi sesuatu yang liminal (karena timbre terbentuk atas fundamental frekuensi dan frekuensi parsial-parsialnya). Frekuensi-frekuensi hasil analisis timbre tersebut kemudian dapat digunakan sebagai materi harmoni di karya musik spektral. Konsepsi musik spektral ini pun berkembang sampai pada program Orchidée, yang mana Orchidée digunakan untuk menganalisis rekaman suara (target) untuk mendapatkan solusi bentuk orkestrasi yang dapat digunakan untuk mengimitasi input target5.

Teknologi mengubah persepsi ruang pun bukan hanya seperti dikasus musik spekral yang sudah disinggung sebelumnya, namun juga terjadi pada musik di wilayah seni interenet (hal ini akan penulis jabarkan pada bagian berikutnya), dimana teknologi sudah 'mengubah‘ makna panggung fisik ke dalam bentuk ruang siber.

 

5.2 Seni Internet (Cyberspace)

Fenomena teknologi mengubah persepsi ‘ruang’ di dalam ranah musik bukan hanya seperti yang sudah penulis jabarkan pada kasus musik spektral. Kini dengan adanya kehadiran teknologi internet, ruang atau media presentasi musik juga merambah ke ruang siber. Pada ruang siber ini kegiatan musik semakin beragam, mulai dari seni musik partisipatoris, hingga festival musik virtual seperti pada festival interdisiplin seni 'ChampdAction.LabO 2020'.

 

5.2.1 Pra Seni Internet

Seni internet atau biasa disebut Net.Art adalah gerakan yang lahir pada tahun 1990an yang memanfaatkan teknologi komunikasi seperti internet sebagai medianya. Sejarah penggunaan teknologi komunikasi dalam seni ini sendiri biasa dibagi menjadi tiga fase: Pra Era Internet, Era Internet dan Pasca Era Internet. Di fase pra internet seniman menggunakan teknologi telekomunikasi sebelum internet, seperti satelit. Hal ini dapat kita lihat di karya 'Hole in The Space' dari Kit Galloway dan Sherrie Rabinowitz6. Pada karya ini, Galloway dan Rabinowitz menghubungkan orang-orang dari kota New York dan LA melalui layar televisi yang disusun dan dipajang dipinggir jalan. Layar televisi tersebut tentu sudah terkoneksi via satelit, sehingga orang-orang dari dua kota yang berbeda tersebut bisa saling menyapa secara langsung, hingga bernyanyi bersama. Karya ini juga merupakan 'induk' dari segala platform video chat yang menjamur saat ini.

 

5.2.2 Seni Internet

Seni internet lahir ketika internet protokol https: mulai hadir di tahun 1990an. Gerakan seni internet ini kemudian lahir pada tahun 1994, dan gerakan ini mengambil nama Net.Art. Nama Net.Art sendiri diambil dari pesan yang didapatkan oleh Vuk Ćosić dari seseorang yang tidak dikenal dan pesan tersebut tidak dapat dibuka dengan sempurna karena kesalahan sistem font. … Satu-satunya bagian dari pesan yang masuk akal tampak seperti:

... J8~# | \;Net. Art {-^s1 … ( Fiordelmondo 2020:2)

Seniman utama dari gerakan ini adalah: Vuk Ćosić, Heath Bunting, Rusia Alexei Shulgin dan Olia Lialina dan JODI kolektif (dibentuk oleh Joan Heemskerk dan Dirk Paesmans - juga dikenal dengan situs web mereka sendiri www.jodi.org) (Fiordelmondo 2020:2).

Di era internet, seniman menggunakan internet sebagai media kekaryaannya dan tidak menuju panggung fisik seperti di karya 'If you want me to clean your screen, scroll up and down'7. Di fase pasca internet, seniman mulai meninggalkan batasan internet dan menjadi objek (dimainkan di panggung), namun ide maupun prosesnya berhubungan dengan internet (Fiordelmondo 2020:6). Di fase seni internet ini sendiri musik belum muncul dikarenakan perkembangan teknologinya belum memadai.

 

Pada tahun 2021, terdapat hal unik yang dilakukan oleh Dmitri Kourliandksi dimana ia membuat digital silence/crypto silence8 dengan durasi 4 menit 33 detik dan menjadikannya sebagai Non Fungibel Token yang ditempatkan di ruang siber/internet. NFT sendiri adalah unit data pada buku besar digital yang disebut blockchain, di mana setiap NFT dapat mewakili item digital unik, dan tidak dapat dipertukarkan. NFT dapat mewakili data digital seperti seni, audio, video, item dalam video game, dan bentuk karya kreatif lainnya9.

Kourliandski sendiri memasang harga sebesar 84,053.20 USD untuk setiap individu atau organisasi yang ingin membeli crypto silence ini. Dengan membelinya, individu atau sebuah organisasi berarti telah memilikinya, walaupun crypto silence ini dibuat oleh Kourliandski, NFT tersebut nantinya akan menjadi hak milik individu/organisasi yang membelinya, dan dapat menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini mengingatkan penulis akan bagaimana proses ‘jual-beli’ lukisan, silence pun kini dapat diperjual belikan di ruang siber dalam bentuk NFT.

 

5.2.3 Pasca Seni Internet

Musik sebagai bagian dari seni internet sendiri baru berkembang di era pasca internet, dikarenakan perkembangan teknologi di fase awal seni internet belum memungkinkan untuk media musik diaplikasikan. Salah dua karya musik yang memanfaatkan jaringan internet sebagai medianya adalah karya dari Alexader Schubert 'wiki-piano.net' dan karya dari Barbara Lüneburg dengan project partisipatorisnya 'Slice of Life' yang 'dikoordinir' melalui https://what-ifblog.net/.

Menurut Brigitta Muntendorf, kecendrungan karya musik yang melibatkan media sosial, platform digital dan internet terbagi menjadi dua model. Pertama, media sosial digunakan sebagai material tapi proses karya di luar platform digital tersebut (Brigitta 2019:56). Model kedua yaitu dimana proses komposisinya langsung di platform digital atau media sosial dan dialog di dalamnya menjadi bagian dari karya (Brigitta 2019:57).

 

Untuk contoh model pertama, kita bisa melihat hal ini di karya Jennifer Walshe yang berjudul Facebook Chorus dimana para musisi menyanyikan teks dari kiriman orang-orang yang muncul di beranda mereka. Sedangkan contoh model kedua dapat kita temukan di karya „Slice of Life“ oleh Barbara Lüneburg, dimana Barbara dan timnya membangun sebuah blog (https://what-ifblog.net/ ). Melalui blog tersebut, para partisipan berkomunikasi dan berkontribusi untuk material karya.

Selain karya dari proyek Barbara Lüneburg, ada juga karya-karya lain di model kedua ini. Yang pertama adalah dari Alexander Schubert yang berjudul 'Wikipiano' dimana website yang dirancang oleh Schubert digunakan sebagai notasi karya, setiap pengunjung dapat merubah konten website tersebut (semacam karya partisipatoris) dan perubahan terkini yang akan dimainkan oleh pianis.

Contoh lainnya adalah karya dari Aoron Koblin 'Bicycle Built for 2000', yang merupakan karya partisipatoris, dimana ia membuat semacam panggilan terbuka lewat sebuah website yang mengumumkan bahwa orang-orang dapat mengirim suara mereka menyanyikan 'Daisy Bell'. Para peserta kemudian diminta mengunggah rekaman mereka menyanyikan lagu tersebut dan mendapatkan gaji sebesar 0.06 USD. Semua data rekaman yang ia dapat lalu diproses/modifikasi serta dipajang di sebuah website dimana para pengunjung bisa memutarnya.

Dari kasus Koblin, kita dapat melihat bahwa internet tidak hanya digunakan sebagai sarana pembuatan karya, namun juga merambah sebagai arena baru untuk mempertunjukan karya musik (yang pada awal fase seni internet, musik belum muncul karena keterbatasan teknologi). Hal semacam ini juga digunakan oleh sebuah festival interdisiplin seni 'ChampdAction.LabO 2020', dimana mereka membangun lingkungan virtual melalui paltform mozilla hubs10.

Mozilla hubs adalah sebuah platform digital yang dapat memfasilitasi pengguna untuk membuat galeri virtual atau ruang virtual untuk menempatkan karya video, musik, foto dan lain sebagainya. Yang menarik dari platform ini adalah aspek interaktif yang dapat dibangun, sehingga pengunjung masih dapat merasakan sensasi menjelajahi galeri atau gedung konser dalam bentuk virtual (dengan teknologi VR), sangat berbeda dengan zoom atau YouTube dimana hanya berbentuk datar dan hanya ketuk dan putar.

 

6. MUSIK DAN KECERDASAN BUATAN

Menurut Cambridge Dictionary, kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar, memahami, dan membuat penilaian atau memiliki pendapat yang didasarkan pada nalar11. Di dalam perkembangan teknologi sendiri, wacana kecerdasan juga menjadi sebuah topik yang hangat diperbincangkan, dan kecerdasan yang dimaksud adalah bagaimana mesin atau komputer mampu berpikir seperti manusia, yang biasa disebut dengan kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan (AI) sendiri adalah … bagian dari ilmu komputer yang berkaitan dengan perancangan sistem komputer cerdas; yaitu, sistem yang menunjukkan karakteristik yang kita asosiasikan dengan kecerdasan dalam perilaku manusia - memahami bahasa, belajar, menalar, memecahkan masalah, dan sebagainya (Nierhaus 2009:228).

Di dalam dunia musik, beberapa komponis memakai mekanisme kecerdasan buatan untuk merealisasikan ide musikalnya, seperti pada karya David Cope, George Lewis, dan Alexander Schubert. Cope sendiri merancang sebuah program ( EMI: Experiments in Musical Intelligence) untuk bisa memproduksi musik dengan gaya Cope. Dalam pengantar bukunya, Cope menjelaskan cara kerja EMI, yaitu dengan … menggunakan rekombinasi musik, pencocokan pola, augmented transition networks, dan orientasi objek (Cope 1996:5). Program EMI akhirnya ... menciptakan musik baru, bisa dibilang. gaya komposer klasik seperti Mozart dan Bach serta Cope yang lebih kontemporer (Cope 1996:5). Hasil keluaran dari EMI memanglah produk musik baru, namun tetap tetap terdengar seperti Mozart, Mozart yang sudah direproduksi oleh kecerdasan buatan12

Berbeda dengan EMI yang menganalisis input, mendekonstruksi dan menghasilkan keluaran produk musik baru yang khas seperti gaya komponis yang dijadikan input, 'Voyager', karya dari George Lewis, memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menganalisis kinerja improvisasi. Program komputer dirancang dan kemudian ... menganalisis aspek kinerja improvisasi manusia dalam waktu nyata, menggunakan analisis tersebut untuk memandu program komposisi otomatis (atau, jika anda mau, improvisasi) yang menghasilkan respons kompleks terhadap permainan musisi dan perilaku independen yang muncul dari internalnya sendiri (Lewis 2000:33).

Apa yang telah dilakukan di karya 'Voyager' seperti benar-benar telah 'menghidupkan' mesin yang dapat berinteraksi langsung secara nyata, 'berkomunikasi' dengan pemain instrumen asli dan meresponnya. Hal semacam ini juga terjadi di karya 'Av3ry' dari Alexander Schubert. Av3ry merupakan program kecerdasan buatan yang berbentuk musisi virtual yang dapat diajak berbincang oleh pengguna via chat. Av3ry menggabungkan natural language processing, komposisi algoritmik, data crawling, dan machine learning (Schubert n.d.). Dengan teknologi-teknologi tersebut, Av3ry mampu merespon secara nyata komunikasi yang dilakukan oleh pengguna via chat, dan … dia13 terus beroperasi serta menciptakan musik, puisi dan gambar pada saat ini - berdasarkan komunikasi dengan pengguna yang berinteraksi.

Av3ry terus mempelajari input dan pengolahnya dan sistemnya terus beroperasi dengan sendirinya, membuat streaming audio berkelanjutan yang disiarkan langsung (24 jam dalam 7 hari). Proyek ini ingin memanfaatkan kemungkinan kekuatan AI seperti:

  • Adaptasi dan pembelajaran dari waktu ke waktu

  • Perilaku otonom

  • Hasil penciptaan yang tidak terduga

 

PENUTUP

Di makalah ini, penulis telah menjabarkan bagaimana perkembangan musik selalu berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi, dan bagaimana teknologi digunakan secara integral untuk merealisasikan ide-ide musikal. Pemanfaatan teknologi ini sendiri berdampak terhadap perkembangan instrumen, cara kerja musisi/komponis, hingga terciptanya ‘entitas’ baru yang memiliki kecerdasan seperti manusia, dimana kecerdasan buatan ini mampu ‘berpikir’ dan merespon ‘pengguna’ dalam waktu nyata untuk keperluan musik.

Dari fenomena tersebut dapat digaris bawahi bahwa hubungan musik dan teknologi lebih condong untuk keperluan ide-ide musikal, seperti pembuatan karya ataupun analisis (walaupun tidak sedikit yang hanya tertarik isu teknologinya sendiri). Hal ini pun diungkapkan oleh Cope dalam kasus penggunaan kecerdasan buatan musikal, dimana teknologi sepeti kecerdasan buatan hanyalah sebuah alat bantu untuk merealisasikan ide-ide musikal, bukan untuk ‘menggantikan’ manusia seutuhnya:

Seperti yang sudah saya nyatakan di awal, komputer tidak menggubah, mereka melakukan program. Program ini ditulis oleh manusia. Apapun kecerdasan yang dimiliki EMI, apapun kemampuannya untuk membuat musik dan menganalisis, itu hanya karena kerja keras saya (Cope 1996:236)

REFERENSI

Cope, D. (1996). Experiments in Musical Intelligence (Vol. 12). Madison, Wisconsin: A-R Editions, Inc.

Fiordelmondo, A. (2020). About the Music in the Internet Art. Unpublished.

Foucault, M., Boulez, P., & Rahn, J. (1985). Contemporary Music and the Public. Perspectives of New Music, 24(1), 6-12. doi:10.2307/832749.

Hartanto, B. (2013). Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Depok: Kepik.

Killin, A. (2018). The Origins of Music: Evidence, Theory, and Prospects. Music Sci 1: 1-23. https://doi.org/10.1177/2059204317751971

Lewis, G. (2000). Too Many Notes: Computers, Complexity and Culture in "Voyager". Leonardo Music Journal,10, 33-39.

Lim, F. (2008). Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.

Mack, D (2014). Sejarah Musik 4. (Cetakan ke-7) Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Morley, I. (2003). The Evolutionary Origins and Archaeology of Music.

Muntendorf, B. (2019). Social Composing. In LINKs series 3-4 Musique – Espace habité. Paris.

Nierhaus, G. (2009). Algorithmic Composition: Paradigms of Automated Music Generation. Wien: Springer.

Rutherford-Johnson, T. (2017). Music after the Fall: Modern Composition and Culture since 1989. Oakland, California: University of California Press.

Schubert, A (n.d). Details. Retrieved April 11, 2021, from http://av3ry.net/details.php

Toth N., Schick K. (2013). Overview of Paleolithic Archaeology. In: Henke W., Tattersall I. (eds) Handbook of Paleoanthropology. Springer, Berlin, Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-27800-6_64-4.

CATATAN KAKI

1https://www.youtube.com/watch?v=6pHQjIYUUOw

2 Selain relasi kebertubuhan, terdapat metode analisis musik dengan menggunakan program music21 yang menyediakan hasil data akhir sebagai teks yang mengingatkan penulis atas hubugan hermeneutis antara manusia dan teknologi dimana … teknologi dibaca sebagai teks yang perlu ditafsirkan (Lim 2008:109). Dengan bantuan music21 kita dapat menganalisis data partitur musik dengan jumlah besar dan cepat, dan hasil analisis akan diperlihatkan dalam bentuk data teks (dalam bahasa pemrograman python). Data teks dalam bentuk bahasa pemrograman python tersebut kemudian dibaca ‘maknanya’.

3https://www.sonicvisualiser.org/

4Hubungan kebertubuhan antara teknologi dan musisi/komponis bukan hanya pada level ‘analisis’, namun juga seperti amplifikasi gelombang otak untuk mengontrol karya musik seperti pada karya Alvin Lucier “Music for Solo Performer” atau pada kasus instrumen virtual dari Robert Hamilton: https://www.youtube.com/watch?v=BHtDM61EeSY

5 Salah satu komponis yang menggunakan Orchidée adalah Jonathan Harvey, di karyanya “Speakings”. Di karya “Speakings” ia salah satunya menganalisis rekaman suara mantra buddhist (om, ah, hum) dan mengaplikasikan “solusi” pengorkestrasian (dengan rinci dinamik dan teknik yang diperlukan) yang diberikan oleh Orchidée untuk mengimitasi suara tersebut.

6https://www.youtube.com/watch?v=SyIJJr6Ldg8

7 http://www.entropy8zuper.org/possession/olialia/olialia.htm

8https://opensea.io/bundles/cryptosilence-23X?fbclid=IwAR11byzILb6-gi6fj3fH6sngzsGcNgga7wsLz8mx22jqZfRl3Ygo5PB5KzQ

9https://en.wikipedia.org/wiki/Non-fungible_token#:~:text=A%20non%2Dfungible%20token%20(NFT,other%20forms%20of%20creative%20work.

10Lihat: https://hubs.mozilla.com/T8NTTNr

11https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/intelligence

12Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=o7zTLw7s2dc

13Penulis masih bingung apakan kata “dia” bisa digunakan untuk Av3ry, karena 3 dalam kata Av3ry merepresentasikan personanya yang non biner.

spektrum.jpg
bottom of page