top of page

MODERNITAS MUSIKAL

DARI MODERNITAS KLASIK SAMPAI MODERNITAS KEDUA – PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEMENTARA

Oleh Claus-Steffen Mahnkopf

Diterjemahkan Oleh Septian Dwi Cahyo

 

Seseorang dapat, setidaknya pada filosofi estetika, menghakimi konten kebenaran dari tesis filosofis dengan mempertimbangkan sejauh mana mereka dapat membantu  kita untuk memahami pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Di dalam kesenian ini berarti: memahami mereka dalam setiap kasus yang konkrit. Ini berlaku untuk teori Harry Lehmann “Avant-Garde Today,”[1] yang mana pencapaian bersandar pada korelasi yang meyakinkan dari argumen yang sistematis dan historis. Keduanya berfungsi secara historis dalam arti sebagai urutan dari langkah-langkah di dalam sebuah model, dan secara sistematis, dalam pengertian dari model dasar dari seni dengan tiga komponenn dasar dari Karya, Media, dan Refleksi; komponen-komponen tersebut yang memasuki beberapa konstelasi karakteristik pada setiap fase historis. Sebuah hal yang menarik dari pendekatan ini adalah kesetiaanya pada prinsip dari autopiesis dari seni, yang mana, seperti kita ketahui, telah bertahan setiap deklarasi dari keberakhirannya – dari Hegel sampai pada posmodernisme – dan oleh karena itu tidak diragukan lagi akan terus ada, dan pada dasarnya demikian, di masa depan.

Teori Lehmann juga sistematis dalam arti bahwa ia mengklaim berlaku untuk semua bentuk seni. Dan memang: istilah “modernitas kedua,” dan karenanya penamaan fase setelah posmodernitas, telah muncul pada teori-teori filem, musik baru dan seni visual – dan bukan dari hasil publikasi Lehmann.[2] Model fasenya tidak hanya sesuai dengan urutan historis dari gelombang modernisasi di seni, tetapi juga terhadap diskursusnya. Pada waktu yang bersamaan, Lehmann tidak kesulitan untuk mengakui bahwa penerapan dari figur-figur konseptualnya dan kategori-kategorinya memerlukan sebuah kualifikasi ganda: fase-fase dari modernisasi artistik berkembang secara berbeda pada setiap bentuk dari seni (namun tetap pada urutan yang ditentukan),  dan pertanyaan dari karya, media dan refleksi yang mana telah dijawab secara berbeda pada setiap kasus. Sehingga kriteria faktual untuk posmodern pada arsitektur, sebagai contoh, lebih mudah untuk dispesifikasi dibandingkan dengan musik.

Dari semua bentuk seni, musik adalah yang paling sulit untuk dipahami secara filosofis. Bagaimanapun, saya memegang pandangan, setelah bertahun-tahun berurusan dengan filsafat seni Lehmann, yang juga berfungsi, mutatis mutandis, sebagaimana diterapkan pada seni musik modern – Musik Baru. Dalam menulusuri sejarah singkat modernisasi musik berikut ini, saya juga menggambar pada esai-esai sebelumnya, di antaranya ditulis sebelum saya berkenalanan dengan filsafat Lehmann.[3]

Musik baru harus dimengerti tidak sebagai hasil dari “revolusi” Schoenbergian (atonalitas), namun lebih sebagai sebuah konsekuensi dari sesuatu yang telah dimulai oleh Beethoven: komposisi penentuan diri dari subjek musikal dari kebebasan. Pada karya-karya akhirnya, konstruktif rasionalitas bergabung dengan hal ini menjadi sasaran proses refleksi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang hampir tidak ada kategori apapun yang dapat menjadi musik, atau seperti apa musik bisa menjadi. Ini memulai proses dari modernisasi musikal memanjang ke serialisme via panggung sentral dari Wagner dan atonalitas, dan dengan demikian melepaskan sebuah dinamika yang tak terhentikan dari eskalasi yang berarti kedua “progres” teknikal dan otonomi artistik (dan secara setara, meskipun dengan beberap penundaan, isolasi sosial). Serialisme pasca perang, pada klaimnya bukan hanya kontrol total pada material, tetapi juga tampaknya produksi ahistoris dari makna musikal dari sebuah tabula rasa, merepresentasikan semacam pertemuan puncak, mata jarum, krisis dan titik balik secaara bersamaan. Momen yang tepat (sebuah permulaan baru setelah runtuhnya Perang Dunia II, rendahnya kompetisi dari generasi tua) dan kontinyuitas historis yang relatif (warisan dari aliran ina Kedua) tetap menjamin  bahwa “harmoni pra-stabil” diantara para garda depan yang sekitar 1970an dengan berapi-api hancur dengan bantuan dari “posmodernisme”. Pencapaian-pencapaian yang tak terhitung dari fase-fase serial dan pasca serial (berpikir parametrik, kontrol pra-komposisi, imanenisme, bentuk terbuka, teknik permainan “hibrida”, elektronik, komposisi timbre, musik teater, dan lain sebagainya.)

Keadaan berbunga dari Musik Baru setelah Perang Dunia Kedua terepresentasikan, dari sudut pandang Luhmann, garda depan,[4] sedangkan istilah “modernitas pertama” merujuk pada periode sebelumnya, yakni dari Schoenberg dan kelompoknya, dari Stravinsky dan Bartok, juga dari ekperimentalis Amerika seperti Ives. Semua komponis itu mencari materi musik yang baru (baca: media), tetapi secara esensial menahan perbehendaraan kata yang ada  dari bentuk musikal (sintaks dan tata bahasannya) dan kemiripan semantik. Ketika Boulez setelah Perang Dunia Kedua membantu Webern dan mendeklarasikan Schoenberg telah mati, ini menandai pergeseran menuju radikalisasi garda depan yang menginginkan untuk mengatasi jejak terakhir dari tradisi – yang mana juga berarti semua gagasan pengikat dari karya, tata bahasa, bentuk dan semantik – dengan menghapuskan mereka dan mengganti mereka dengan “logika” baru. Karya dalam arti tradisional telah dinegasi, sekali dan untuk semua.

Terdapat, sesuatu yang dipertimbangkan dalam hal tipe-tipe yang ideal, dua kemungkinan reaksi terhadap negasi ini. Salah satu menerima karya yang sudah tidak eksis, datang untuk berdamai dengan keadaan ini dan selanjutnya berkonsentrasi pada anti-karya, seni kejadian, atau seni terkonsep; atau satu gerakan, dibawah  kondisi-kondisi baru, untuk membuat sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, karena itu sungguh pengertian “baru” dari karya, bahkan untuk membuat sebuah karya “ideal” dari fondasi ini. Suatu kekhususan dari musik jika dibandingkan dengan seni visual adalah faktanya mayoritas dari komponis telah menentukan untuk tetap menjadi komponis, untuk menggubah dan melegitimasi kepengarangan mereka. Radikalisasi non-karya adalah sesuatu hal yang biasa di Amerika (sebagai contoh, Cage) dan agak jarang di Eropa (sebagai contoh, beberapa fase dari Dieter Schnebel) ini mungkin menjadi salah satu konsekuensi dari tekanan historis yang luar biasa dari 1000 tahun Barat, Yaitu, evolusi musikal Eropa yang mana komponis-komponis tidak bersedia untuk melepaskan eksistensi mereka sepenuhnya. Bagaimanapun, saya ingin menentukan beberapa hal yang lebih penting daripada sebuah alasan faktual yang spesifik kenapa di musik – juga di literatur dan filem – karya tidak pernah hilang. Karena ketidak kekalan dari media sonic-akustik, musik lebih bergantung, mungkin secara konstitutif, pada sebuah lampiran temporal daripada seni yang bekerja dengan visual, fisikal atau elemen bahasa. Fakta bahwa musik secara umum mempunyai awal dan akhir, dengan demikian terletak secara temporal dalam batasan-batasan ini, dan bahwa ini didefinisikan oleh sebuah ansambel dan musisi dan sumber bunyi, membuat ini sulit untuk menegasi karya musik. Sesungguhnya, non-karya harus tidak memiliki batasan-batasan, hanya transisi yang cair di dalam lingkungan akustik, dan material-material yang dibunyikan harus cukup tersebar untuk menghindari pembetukan identitas apapun. Estetika anti-karya harus memperjelas ide yang disukainya: diam pertama-tama harus diproduksi ini dapat diterima sebagai sebuah bentuk musik yang “tinggi”. Ini tidak mengejutkan, oleh karena itu, bahwa Cage, pencetus dari serangan yang terkenal pada estetika karya tradisional, meninggalkan karya, dan lebih lanjut karya-karyanya mempunyai judul, kerangka waktu yang ditetapkan penulis, eksis dalam menulis dan dimainkan, maka ditafsirkan dalam pengertian tradisional (dan lebih lanjut diperlakukan sebagai karya dalam pengertian dari hak kinerja dan hak cipta).

Bagi saya ini terlihat bahwa ide dan musik non-karya – hanya dengan penulis imajiner, tanpa batasan-batasan temporal yang pasti,  dan variabel sumber bunyi – telah terbentuk dengan sendirinya pada lahan sound art, yang berarti sebuah bentuk baru seni yang telah dipisahkan dari menggubah musik dan, dalam proses pembubaran batas-batas genre, mendekati seni instalasi, yang mana dikembangkan oleh seni visual.

Musik garda depan, secara umum, mempunyai dua wajah, kondisi ini mengikuti dari ide dari menegasi karya musik (sebagai contoh, dipandang sebagai tradisi tradisional): pada sisi lain estetika anti –karya dalam arti acoustic sound art, dan pada sisi lain intensifikasi komposisi – yaitu, secara teknis dan secara konseptual dibuat oleh – rasionalitas, diekspresikan pada sistem-sistem personalisasi tinggi dai teknik komposisi, materi musik dan filosofi artistik yang mendampingi.

Namun jika non-karya sudah (hampir) tidak mungkin untuk komposisi garda depan, lalu apa yang membuat ini menjadi garda depan? Secara esensial teradapat dua aspek: pertama, percobaan untuk mengembangkan sebuah musik yang baru, yang sebelumnya tidak eksis dan tidak lagi dievaluasi dan dimengerti melalui kriteria tradisional, dan kedua,  partisipasinya dalam ide dari merubah dunia, sejenis dari musik yang dimaksudkan untuk menceritakan sebuah budaya baru dari mendengarkan dan menikmati kemanusiaan. Pada kasus Nono, secara singkat, ini berarti bahwa sebuah masyarakat baru juga menginginkan sebuah musik baru, dan untuk Adorno ini berarti bahwa manusia yang terbebaskan menginginkan musik “yang sepenuhnya bebas”.

Hari ini kita mengetahui bahwa klaim revolusioner dari musik garda depan terlalu berlebihan; mereka sombong dan berlebihan. Tapi terkadang klaim harus dibuat jadi mereka dapat secara autentik gagal (atau secara sederhana menunggu untuk evolusi dari humanitas untuk memungkinkan sebuah penghakiman pada sebuah poin akhir). Ini, pada pandangan saya, alasan untuk meninggalkan garda depan dan proklamasi posmodernitas tidak begitu banyak melelahkan materi yang disebutkan begitu sering pada tahunn 1970an, tapi lebih pada sebuah ketidaknyamanan tentang fakta bahwa sebuah musik ekslusif secara rinci tidak mampu mencapai humanitas yang selera musikalnya telah direvolusi. Harry Lehmann telah dengan yakin menunjukan bahwa posmodernitas juga – bertentangan dengan proklamasinya – merupakan pengembangan dari material.

Sebelum kita lanjut ke posmodernitas, bagaimanapun, ini harus dicatat bahwa representatif dari garda depan secara natural melanjutkan karya mereka. Fase-fase dari evolusi seni saat ini lebih singkat dari hidup seniman-senimannya. Jika kita kembali ke ahkir dari 1990an, sebuah poin yang mana seseorang dapat melihat ke belakang sekitar 25 tahun dari posmodernitas, seseorang dapat melihat empat (atau lima) arah yang menonjol.[5] Negativisme musikal – terutama Lachenmann – berkonsentrasi pada rincian dari bunyi instrumental pada mode non-tradisi yang mana untuk mendapatkan pengalaman pada sebuah bentuk yang terasingkan yang secara sadar melawan sesuatu yang familiar, meskipun tanpa (sampai saat ini?) memecahkan masalah dari bentuk materi seperti “non-identik”. Kompleksisme musik[6] – dimulai dengan Ferneyhough – mengolah perbedaan-perbedaan dari diskursif musikal dalam arah untuk mengerahkan “Carceri d’Invenzione,” “penjara dari penemuan” Piranesi, kepada pendengar, namun tanpa menyediakan “waktu luang” untuk bunyi-bunyi untuk menjadi diri mereka sendiri. Stokhastik-statistikal – ditemukan oleh Xenakis – mengekplorasi pertanyaan sistematis komposisi dalam arah untuk merancang efek mass dari besarnya, hampir kekuatan pola dasar, namun tanpa dapat untuk melakukan keadilan terhadap setiap eleman materi musikal sebagai sesuatu yang “individual”. Dan terakhir, spektralisme – Grisey telah menjadi eksponen terdepan – mendorong bahasa harmonik lebih jauh ke dalam arah untuk mengikat, situasi yang workable dari ruang bunyi, meskipun  tanpa mengembangkan sebuah estetika yang melampaui “naturalisme” yang naive.

Pada tahun 1990an kecendrungan “kelima” muncul, walaupun modernitasnya tidak didefinisikan sendiri dalam pengertian dari masalah teknik-komposisi apapun yang telah ditentukan. Musik ini tanpa diragukan secara autentik kontemporer, bagaimanapun, meskipun dibawa oleh puisi “nostalgia”, yaitu, seseorang yang mengekspresikan sebuah bentuk dari kerinduan, dan mungkin tidak mengikuti bentuk paling akhir dari progres musikal – tapi tanpa menjadi regresif. Karya musik Kurtag dapat dipertimbangkan sebagai apa yang Georg Steiner rujuk sebagai “real presence”. Kurtag mengembangkan jauh dari sirkus Musik Baru, dan ini mungkin bukan kebetulan bahwa dia berangkat dari “insider tip” absolut kepada kontemporer “klasik” hampir semalaman. Saya mempertimbangkan musik Kurtag sebagai konten artistik yang menantang diantara empat kecendrungan utama modern, lebih tepatnya pada transisi ke abad ke 21.

*

Bahkan posmodernitas, untuk semua sikap afirmatifnya, bekerja dengan negasi. Sementara modernitas klasik menegasi media (“atonalitas”) dan garda depan menegasi karya, posmodernitas menegasi kebenaran. Apapun itu, seseorang telah diceritakan bahwa ini tidak ditempatkan sepeti semestinya; terbukti, seni posmodern terobsesi dengan mendokumentasikan fakta bahwa ini telah meninggalkan konsep kebenaran, yang mana ini terlihat sebagai bagian dari tradisi. Seseorang dapat mendeskripsikan non-kebenaran dengan beberapa cara: ironi, kebohongan, penuh trik, kebohongan, kemunafikan, ejekan – pada setiap kasus, pengecualian dari kebenaran[7] tetap menjadi kriteria yang digunakan untuk memisahkan diri dari garda depan. Penegasian kebenaran, secara pandangan dialektis, prasyarat untuk menempatkan (sebagai penegasian dari negasi) dari material, perluasan media.[8] Kesejarahan semantik dan konteks kebudayaan adalah secara fundamental tidak tersedia karena mereka adalah bagian dari horizon hermeunetis yang mana seniman menunjuk dirinya pada posisi pertama. Jika mereka diabaikan karena mereka dapat diabaikan – dalam hal ini – posmodernitas adalah inovatif – lalu konteks-konteks ini tidak lagi bertanggung jawab kepada prinsip dari kebeneran; mereka telah, mencurahkan diri mereka pada ini. Lalu material-material tersebut dari area-area yang telah sebelumnya garda depan jadikan tabu dapat digunakan di waktu luang. Secara esensial semua media dan materi-materi musik dapat digunakan, juga dari kesejarahan musik, kebudayaan asing, atau musik pop.

Posmodernitas berhutang dari perluasan penyertaan ini, faktanya secara komplit materi-materi musik yang tidak dibatasi untuk negasi dari kebenaran artistik dan ekspresif. Sedangkan seniman visual (Jeff Koons) atau penulis (Umberto Eco) tidak mempunyai kesulitan  dalam mengakui ini, para komponis dengan ide posmodern dan sentimen yang condong untuk menolak faktanya – mungkin keluar dari hati nurani yang bersalah, karena prinsip dari non-kejbenaran adalah tidak dapat didamaikan  dengan warisan dari komponis-komponis besar, yang mana mereka dengan berapi-api mengaku akan melanjutkan. John Adams mengekspresikan ambivalensi ini dengan cara berikut: “Walaupun saya benci kata posmodern, namun kemungkinan saya adalah komponis yang paling posmodern yang masih hidup”.[9]

Musik posmodern dapat juga mengambil samaran yang berbeda. Intinya, seseorang dapat membedakan berdasarkan lima karakteristik berikut ini:

  1. Karya musik posmodern itu hedonistik; ini menunjukan sebuah kenikmatan dari imajinasi kombinasinya dengan kesembronoan yang unik terhadap musik; penerimaannya terjadi dalam mode kenikmatan (sebagai contoh, karya Mauricio Kagel, Match).

  2. Karya musik posmodern adalah naratif; ini menghadirkan naratif musikal, bukanlah komposisi bunyi atau struktur (sebagai contoh, karya Wolfgang Rihm, Musik fur drei Streicher).

  3. Karya musik posmodern secara formal sangat heteronom, sebagai contoh, kesulitan masalah dari bentuk terpecahkan, dan ini dicapai melalui sebuah koneksi yang kuat terhadap bentuk-bentuk yang berfungsi dan ada sebelumnya (sebagai contoh, karya Gyorgy Ligeti, Passacagia ungherese).

  4. Karya musik posmodern merujuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri; materialnya diambil dari musik lain (sebagai contoh, karya Alfred Schinttke, Third String Quartet).

  5. Karya musik posmodern itu ironis, dan dengan demikian mendorong kebenaran artistik menuju sebuah distorsi dari kebenaran dan memperlihatkan bahwa apa yang dihadirkan adalah tidak dimaksudkan seperti yang seharusnya dihadirkan (sebagai Contoh, Karya Thomas Ades, Bhrams).[10]

Dengan demikian jelas bahwa satu karakterisktik seperti itu tidak cukup untuk mencapai status posmodernitas (kecuali keempat hal di atas diaplikasikan menuju sebuah tingkat yang ekstrim, sedemikian rupa sehingga sebuah karya seluruhnya terdiri dari referensi luar; meskipun sebuah karya musik sepenuhnya dimaksudkan sebagai non-true hampir tidak bisa menjadi modern, ini mungkin bisa menjadi garda depan).

Sebuah musik posmodern harus, mengharapkan kasus dari sebuah bentuk ekstrim dari karakteristik 4, mempunyai beberapa dari dasar karakteristik-karakteristik ini; jika ini memiliki semuanya, seseorang dapat berkata dari sebuah karya posmodern yang integral. Orang juga bisa mengandaikan tipe-tipe musik pomodernitas berikut:

  1. Poly-stylistic postmodernity: inilah aspek dominan dari pluralisme, dan ketersediaan dari periode historis yang berbeda.

  2. Ironic postmodernity: Intensi utamanya adalah ejekan, parodi, ironi dan kelebihan.

  3. Hybrid postmodernity: efek crossover dimaksudkan, terutama dengan bentuk-bentuk musik seni di luar Eropa (sebagai contoh, musik pop atau “world music”).

  4. Naive postmodernity: Ini tidak bereaksi terhadap perkembangan dari modernitas ataupun garda depan karena ini tidak, atau tidak mau untuk mengakui mereka. Contohnya neo-tradisionalisme dan beberapa minimalisme.

  5. Epigonal postmodernity: Ini mungkin akan menjadi sebuah bentuk dari “New Music light” – tidak terutama multi gaya atau ironi, tetapi menggambar pada material dari sebuah generasi terdahulu, terutama musik atonal (kontras dengan preferensi posmodern untuk musik tonal pada tahun 1970an).[11]

Modernitas kedua, yang mana mengatur diri mereka sendiri terpisah dari posmodernitas, menegasi penegasian kebenaran Ini mewarisi total kompleks dari modernisme klasik/garda depan/posmodernitas, tapi dibawah kondisi bahwa  semua pencapaian-pencapaian – material-material baru, kritik dari karya, pluralitas – diperiksa di dalam pengertian kebenaran, atau setidaknya kapasitas untuk kebenaran. Ini adalah tantangan yang besar sekali. Ini harus berhadapan sungguh-sungguh dengan klaim terhadap kebebasan dan pluralitas yang dibuat oleh posmodernitas; dan setelah dari intensi-intensi para garda depan juga menjadi lebih sugguh-sungguh, sebagai sesuatu yang eksperimental sebelumnya saat ini menjadi normatif dan politis. (dalam pengertian ini garda depan, yang mana sementara telah dibuat posmodern dan muncul sebagai bagian dari budaya bersenang-senang di dalam sistem kesenian, akan di de-posmodern-kan oleh modernitas kedua[12]

Karena modernitas kedua berkomitmen untuk mendampingi prinsip dari kejujuran – dan komitmen-diri ini lebih serius dibandingkan dengan klaim empati kebenaran pada modernitas klasik, karena ini pada satu waktu dari kejujuran (posmodern) penyingkiran radikal – ini sekali lagi dapat pula memproduksi karya yang meyakinkan. Karya-karya dari modernitas kedua, sekali lagi, adalah karya-karya yang seharusnya mereka menjadi, atau tentu saja: seperti mereka seharusnya. Dan seseorang dapat – menamai alasan untuk ini: teknikal, konseptual dan alasan artistik.

Istilah “Modernitas Kedua” bagaimanapun sementara waktu, merujuk, kepada apa yang mengikuti posmodernitas – “mengikuti” keduanya dalam arti pergerakan temporal dan dalam arti menarik kesimpulan estetis. Untuk membicarakan modernitas kedua menyiratkan bahwa salah satu tesis utama posmodernitas, yaitu bahwa sejarah telah mencapai akhir dan postmodernisme telah mengatasi modernisme sekali dan untuk selamanya adalah salah. Di musik, modernitas kedua adalah sebuah pendekatan yang mematahkan dasar keyakinan dari posmodernitas. Utamanya adalah kepercayaan bahwa materi musik yang modern, baru, dan inovatif tidak lagi mungkin dan oleh karena itu segala macam material, terlepas dari sejarahnya, gaya dan fungsi konteksnya sama-sama dapat digunakan, dan karena alasan ini gaya konsistensi diri dengan referensi ke masa kini tidak mungkin dan tidak diinginkan.

Salah satu dari keunggulan modernitas kedua adalah fakta bahwa ia tidak berbagi ajaran-ajaran ini. Modernitas kedua memberi perhatian pada gaya yang kohesif – yaitu gaya-gaya yang koheren dalam arti teknik, material dan semantik – menggunakan  materi modern, elemen-elemen yang dikembangkan saat ini. Modernitas kedua tidak mendefinisikan dirinya secara negatif sebagai penolakan atas posmodernisme, bagaimanapun, juga secara positif, dengan mengekspresikan solidaritas dengan ajaran-ajaran modernisme klasik (baca: modernisme pertama) dan garda depan. Yang mana percaya pada eksperimentasi, inovasi, dan keyakinan bahwa konstruksi, sebagai contoh, validasi teknik dari diskursus musik, sangat diperlukan.

Bagi modernitas kedua tidaklah sesederhana gerakan balasan atas posmodernisme dan solidaritas akan moderisme tinggi; sejauh itu berkembang, itu akan membawa karakteristik estetika baru, dengan harapan, memiliki masa depan. Modernitas kedua berarti bekerja pada proyek utama dari masa depan yang terbuka dimana seniman dapat bertujuan untuk produktif.

Orang dapat melirik komponis-komponis yang berusia 50an (pada saat tulisan ini ditulis), kita dapat mengamati panorama yang beragam dari berbagai posisi yang berbeda dan dapat dianggap sebagai bagian dari modernitas kedua. Memberikan gambaran tentang ini hanya mungkin bagi seorang yang melakukan pekerjaan komponis tersebut untuk pemeriksaan yang tepat dengan empati dan ketelitian. Orang harus memperhitungkan komponis-komponis yang sudah dianggap sebagai bagian dari modernitas kedua misalnya: Mark Andre, Richard Barret, Pierluigi Billone, Aaron Cassidy, Chaya Czernowin, Sebastian Claren, Frank Cox, Liza Lim, Claus Steffen Mahnkopf, Chris Mercer, Brice Pauset, Enno Pope, Wolfram Schurig, Steven Kazuo Takasugi, Ming Tsao, Franck Yeznikian dan lainnya yang juga layak disebutkan di bawah judul yang sama. Siapapun yang ingin memulai studi semacam itu harus mempertimbangkan individualitas masing-masing pendekatan sebagai konstelasi yang unik dari estetika, teknik, material dan semantik. Dengan gambaran dari keseluruhan situasi, dapat dikatakan bahwa komponis yang disebutkan di atas, dengan segala perbedaanya, terhubung melalui beberapa karakteristik – orang hampir bisa berkata: melalui kategori nilai-nilai yang umum seperti di bawah ini:

  1. Mereka mengkomposisi karya (baca: karya musik). Dan juga melakukannya bersamaan dengan keterlibatan kritis dengan konsep karya. “Karya” berarti entitas yang dikonstruksi, melalui penyusunan dengan batasan internal dan eksternal yang jelas, bukan sebuah pengaturan eksperimental dengan hasil yang tidak pasti. Pengalaman Garda Depan bahwa karya juga bermasalah tidak masuk ke dalam bentuk itu, tetapi lebih kepada resistensi, ekspresi yang menyimpang dari musik.

  2. Mereka mengkonstruksi material mereka sebagai sebuah material yang otonom. Perbedaan antara modernitas kedua dengan modernitas pertama disini adalah bahwa sekarang progres dari material, inovasi material, dan fiksasi – yang juga direduksi sebagai atau kepada gaya seseorang tidak lagi menjadi pusat perhatian. Itu diterima begitu saja bahwa materinya modern, namun bisa, tergantung pada karya; Harry Lehmann berkata: berdasarkkan Gehalt dari karya.[13] Kesuksesan estetis dari sebuah karya tidak sedikit tergantung pada sebuah persetujuan antara material-material yang dipilih dan konsepsi karya, dan ini adalah konsepsi yang mengatur konstruksi dari material. Ini meyakinkan bahwa material adalah bukan seperti posmodernisme yang ditangani secara sewenang-wenang.

  3. Para komponis modernitas kedua menganggap sikap kritis terhadap budaya kontemporer, dan oleh karenanya tidak dimotivasi dengan kepentingan karir. Mereka tertarik kepada perkembangan dari gaya pribadi mereka, kepuitisan mereka, dan hidup karya mereka, tidak sekedar memuaskan kepentingan mutakhir. Sebagaimana budaya hari ini berlanjut menjadi posmodern, dan dengan demikian “memainkan permainan ironi dengan senang hati” dan diarahkan pada “hiburan”, seni modernitas kedua menempatkan dirinya sebagai oposisi dari hal tersebut dan menekankan pada keseriusan dan kejujuran artistik.

  4. Para komponis modernitas kedua telah tercerahkan secara estetis di dalam pemikiran mereka dan waspada terhadap teknik komposisi mereka. Yang sebelumnya berarti bahwa mereka bekerja pada aporiae yang tidak terpecahkan dari posmodernisme (namun juga modernisme klasik dan garda depan) sebagai masalah, yang terakhir bahwa ini terjadi tidak hanya dalam hal folosofi artistik itu sendiri, sehingga untuk berbicara sebagai deklarasi niat, tetapi lebih dalam proses melalui rasionalitas tindakan komposisi.

Tidaklah sulit untuk mengatakan dari keempat karakteristik di atas bahwa tidak semua generasi komponis yang lebih muda secara otomatis dianggap bagian dari modernitas kedua. Modernitas kedua bukanlah sebuah periode, pembagian temporal, generasi tertentu, namun lebih kepada sebuah konsep kualitatif (mengesampingkan fakta bahwa beberapa komponis berharap tidak terlibat dalam modernitas kedua, atau setidaknya diskusinya). Ini tidak dapat dihindari bahwa sikap posmodern, garda depan, anti modern, dan modern (dalam arti modernitas pertama) akan terus berlanjut eksis dan melakukannya secara mandiri dari usia mereka yang menampilkannya.

Ini akan terlihat sangat diperlukan untuk menunjukan bahwa modernitas kedua adalah sebagai sesuatu yang beraneka ragam dan dibedakan secara internal – sebagai plural, orang dapat berkata – sebagai semua seni dan semua waktu berlalu. Perbedaan penekanan estetika dan karakter, perbedaan latar belakang budaya dan sensitifitas secara alamiah berdampak kepada pendekatan dari individu seniman. Orang dapat dengan demikian membedakan antara positivist dan negativist, sekuler dan relijius, optimistik dan pengunduran, ekspresionis dan impresionis, orientasi-bunyi dan orientasi-diskursus, constructivist dan deconstructivist, holistik dan dislocatory, terpusat dan multi perspektif, formalis dan kecendrungan narativist. Terbukti satu menemukan seluruh spektrum dari tipe-tipe ekspresif yang berkembang melalui modernitas.

*

Seperti yang biasa terjadi, teori seni lebih cepat dari sasaran: pada tahun 1994, Heinrich Klotz mempublikasi sebuah buku dengan kronologis tripartit dari skema temporal yang secara alami memiliki inti yang sistematis: Moderne – Posmoderne – Zweite Moderne.[14] Diantara yang lainnya, Klotz menemukan sebuah modernisme kedua di bidang arsitektur (sesuatu lahan yang sama dimana debat posmodern di kesenian telah diangkat dengan penuh semangat, dan kemungkinan juga dengan begitu meyakinkan), yakni di arsitektur dekonstruktivis, direpresentasikan oleh figur-figur seperti Daniel Libeskind, Zaha Hadid, Peter Eisenman, Frank O. Gehry, Rem Kohlhaas dan Coop Himmelblau. Hanya sebagai posmodernisme di arsitektur berlangsung sekali sebuah pendekatan yang telah menjadi mandul dan dingin secara formalistik (dan oleh karena itu menawarkan sedikit potensi untuk ekpansi kreatif sebuah contoh yang terkemuka adalah Gropius) telah mati, sebuah gerakan perlawanan selajutnya dengan referensi kesadaran modernisme klasik, sebuah estetika baru yang bertentangan dengan posmodernisme.  Sebagai sebuah paralel terhadap musik yang bukan hanya banyak, namun juga sangat terbukti[15], usaha ini pasti tidak sia-sia untuk mengaplikasikan skema tripartit ini juga di musik.[16]

Kita akan berargumen bahwa ini hanya penuh makna untuk membicarakan tentang modernisme kedua jika ini dilihat sebagai sebuah reaksi, respon atau hasil dari situasi posmodern, modernitas kedua di dalam musik adalah percobaan untuk menangani masalah yang tak terpecahkan dari posmodernitas (termasuk yang karena kebutuhan tidak terpecahkan di dalam estetika posmodernitas) secara produktif, mengambil prinsip-prinsip estetika dari masa sebelum posmodernitas di dalam jalan yang berbeda dan membuka pintu menunju ke masa depan. Modernitas kedua dengan demikian bukan sebuah penyangkalan atas posmodernitas – yang mana, secara mengejutkan, divalidasi secara rinci dari sudut pandang dari modernitas kedua – ataupun reaksi pertahanan neurotik atau ketidaktahuan yang disengaja. Modernitas kedua hanya dapat masuk akal, setidaknya di dalam kebutuhan anti artistik kita dan fase anti-intelektual, jika ini mengalamatkan isu faktual dengan segala kekuatannya.

Dalam konteks ini, ini sangat menguntungkan untuk menggaris bawahi satu dari sekian banyak pendekatan teori yang produktif untuk estetika modernitas – sayangnya, tidak berkarakteristik pada diskursus kekinian dari seni-seni modern – seperti yang berlanjut ke masa kini. Harry Lehmann merekonsrtuksi sejarah seni modern, yang mana diperoleh sistem yang otonom di Renaisans Italia, ketika pembedaan telah dibuat antara seni dan yang bukan seni dan keindahan artistik telah didiskusikan untuk pertama kali, sebagai sebuah sejarah dari proses pembedaan yang progresif melalui tiga komponen fundamental: karya (produk artistik individual), media (“material” [dalam kasus musik berupa: bunyi, nada-nada, ritme, pengorganisiran temporal]) dan refleksi (semantik). Pada modernitas klasik karya dan media terpisah – tonalitas telah ditinggalkan – dan digantikan dengan media baru, dalam setiap contoh, sementara refleksi tetap terikat pada sebuah filosofi yang mendasari, membuat kemungkinan menjadi ahli waris dari Klasisisme. Yang mana modernitas klasik menegasi media, garda depan menegasi karya, yang mana ini terpisah dari refleksi; ini telah dilakukan melalui non-karya dalam urutan untuk membawa refleksi ke  keadaan otonom, yang mana adalah bukti seni terkonsep.

Tahap-tahap ini membentuk bagian-bagian dari modernitas pertama, yang mana ditolak oleh posmodernitas setelah ini terlihat terlalu mengarah kepada pemujaan berlebihan dan seringkali didiskusikan sebagai akhir dari sejarah seni. Jika media dihadirkan sebagai sebuah masalah yang berkepanjangan dan refleksi dibebaskan oleh peghapusan perbudakan dari karya, ini menjelaskan kenapa beberapa komponis menjadi spesialis untuk beberapa area material – Cage untuk chance, Boulez untuk struktur, Stockhausen untuk formula, Grisey untuk Spektrum, Xenakis untuk proses stokhastik, Scelsi untuk musik satu nada, Nono untuk bunyi dan sunyi, Lachenmann untuk noises, Ferneyhough untuk parameter-parameter – dan musik secara mengulang mematahkan batasan indentitasnya sendiri: dari Fluxus, aleatorisme, musikal teater sampai instalasi, percobaan lintas arah, bahkan ontologi-ontologi privat a la Stockhausen. Sampai emansipasi yang meragukan yang datang bersama posmodernitas, oleh karena itu modernitas pertama bekerja melalui sebuah proses yang teliti dari riset ke dalam material, struktur, bentuk  dan konsep, yang mana, setelah sampai pada titik tertentu, tak terhindarkan mecapai sebuah fase kelelahan.

Terdapat sebuah hubungan komplementer antara estetika modernitas dan garda depan: sementara yang sebelumnya dicari untuk menjelajah dan memperluas jarak imanen dari kemungkinan-kemungkinan musikal, yang pada akhir mencoba untuk merevolusi karakter performatif, relasi dunia dan kedudukan sosial dari musik. Kita tahu bahwa keduanya tidak dapat direkonsiliasi, dan, selama evolusi dunia mempertahankan logika terarahnya, kita harus hidup dengan ini. Jika posmodernisme, dengan kenakalannya, kebermainannya, Sighfried-like dan tidak terganggu, pragmatik dan penuh dengan kata-kata, anti metafisis – tapi juga secara sederhana reaksioner – alam tidak tampil pada tempat kejadian, orang harus bertanya pada diri sendiri apa yang akan terjadi pada seni modern. Pada beberapa poin material telah sepenuhnya dijelajahi, dan hal-hal yang dicari untuk merubah dunia mau tidak mau putus asa di dunia. Inovasi dan pecahnya akan meledak. Sungguh, bagaimanapun, ada autopoiesis kreativitas manusia yang mengembangkan kelicikan pada saat-saat tertentu di dalam sejarahnya.

Posmodernisme, menurut Lehmann, memberontak melawan orentasi menuju negasi, permasalahan-permasalahan dan ketidakmungkinan dan pematahan tabu-tabu ini; ini menegasi penegasian dari media dengan membuat semua media –dari material, sebagai contoh, semua gaya musik secara historis dan global adalah mungkin. Ini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinann kontingen “tanpa permasalahan”. Karya dan media dengan demikian bersatu, tetapi sebagai sesuatu yang berbeda, untuk keduanya dapat dipilih secara bebas, karena tidak komit, tanpa kehadiran mediasi internal pada ide metafisis dari modernime klasik, sebagai contoh aliran Wina Kedua. Pencapaian historis dari posmodernitas adalah karena pecahnya modernitas yang telah menjadi ortodoks – buta, keras kepala dan tidak produktif – dan, Lehmann berargumen, pengambilan kembali dari media, kali ini bahkan pada otonominya.

Posmodernitas memperoleh otomi pada material (Menggunakan terminologi milik Lehmann) adalah, bagaimanapun, dengan melihat kepada karya, tidak otonomm, karena materialnya heteronom pada relasi bentuk dan semantik. Ini secara rinci menjadi masalah utama yang modernitas kedua tidak dapat terima. Fakta bahwa ini adalah material yang asing; dan hanya dapat dikombinasikan secara ironis atau dengan bermain-main, sekarang mempunyai konsekuensi serius pada konstruksi dari musiknya. Ini bekas meta-music, sebuah karya disamping karya asli; semantiknya adalah dangkal, dan secara esensial mengambil pendekatan konseptual dari garda depan, sebagai suatu kebutuhan untuk mengetahui bahwa gaya-gaya musik dipajang tidak pada semestinya, yang mereka katakan sebagai sesuatu yang berbeda. Musik yang dapat dipahami dengan sendirinya adalah tidak mungkin. Dan musik yang dikatakan asli itu juga tidak mungkin. Posmodernitas, dengan semua keasikannya dalam mencoba banyak hal, sebetulnya tidak produktif. Ini adalah salah satu alasan mengapa ini hanya mengaburkan untuk waktu yang sementara (sangat kontras dengan deklarasinya sendiri, yang mana ini menandai proporsi New Testatement).

Untuk sebuah jarak dari alasan yang sangat berbeda, beberapa resistensi terhadap musik posmodernisme berkembang. Pada tahun 1980an sebuah gerakan yang sebelumnya tidak eksis muncul: komposisi kompleks, kompleksitas baru, kompleksisme – semua mencoba memformulasikan kualitas yang baru. Ferneyhough, meskipun hadir pada waktu sebelum posmodernitas, telah memainkan peran mediasi di sini, setelah mengabaikan pemikiran reduksionis pada awal tahun 1980an (dikenali sebagai mode komposisi dari Nono, Feldman, dan secara bertahap memeram Lachenmann pada waktu yang bersamaan) mendukung gaya multi perspektif meskipun mempertahankan aspek sentralisme dalam bentuk “gaya pribadi”.

Meskipun kompleksisme kemungkinan tidak hanya manifestasi dari modernitas kedua, ini dapat digunakan untuk mengilustrasikan atribut-atribut esensialnya. Sejauh material diperhatikan, progres dapat menentukan peran sekali lagi; mikrotonal, ritme yang kompleks, konstruksi formal bertingkat, poly-works, live electronic, komposisi yang didampingi oleh komputer, keseluruhan spektrum bunyi dan noise, permainan teknik hibrida. Sebagai sebuah gaya, tujuannya adalah sebuah keotonomian, bahasa personal yang kohesif di dalam diri sendiri daripada mengkombinasikan bahasa yang asing sebagai kolase-kolase. Sejauh citra diri diperhatikan, tujuannya untuk sebuah musik yang relefan terhadap zaman kita, yang mempunyai sebuah karakter dari dirinya dan tidak mengikuti selera audiens, yang mana secara alamaiah konservatif. Modernitas kedua dengan demikian anti karir, oposisi, dan otonom.

Ini hampir menjadi sebuah pendefinisian karakter dari modernitas kedua yang dikenali dari teknik komposisi yang dikembangkan – atau dari fakta bahwa ini merehabilitasi teknik komposisi per se. Untuk itu kembali kepada pertanyaan (perlu) dihindari oleh posmodernisme, yaitu bagaimana bentuk musik dapat dihasilkan dari bahan yang harus terlebih dahulu diproduksi untuk asal-usul formalnya – atau, untuk menempatkan secara berbeda: bagaimana material dan bentuk dapat diperhatikan secara internal, bukan hanya sesederhana secara meta linguistik. Itu sudah dan tetap menjadi pertanyaan besar dari musik modern secara keseluruhan, yang mana mengambil kerugian dari pemberian metafisik pada dirinya sendiri karena ini tidak mempunyai pilihan lain, dan karena ini secara rinci di dalam karya ini ia melihat kemungkinan untuk menulis karya baru yang sesungguhnya (bukan sekedar musik second-hand).

Pada model teori Harry Lehmann, ini berarti bahwa karya itu , dinegasi oleh garda depan, sekarang telah dipulihkan, seperti halnya material di posmodernitas. Modernitas kedua menegasi penegasian karya. Perjuangannya untuk membuat karya-karya lagi adalah sebuah ekspresi dari ketelitian yang bertujuan secara teknis: bahwa material dan bentuk harus sekali lagi membentuk sebuah kesatuan yang kohesif, yang mana dapat dikatakan diadaptasi ke masing-masing, atau, untuk ditempatkan secara berbeda: bahwa kesatuan harus dibentuk. Karya tidak lagi dan tidak lebih dari sebuah pengisian-bentuk, pengaplikasian otonomi dari material di waktu musik. Ini menjelaskan mengapa sekali lagi karya-karya ditulis – dan bukan hanya oleh posmodernist.

Modernitas kedua bagaimanapun, tidak, merupakan sebuah regresi kepada keadaan sebelum penegasian karya; ini tidak mencari untuk melupakan apa yang terjadi. Tetapi ini juga diketahui bahwa non-karya tidak semudah dimuliakan untuk selama-lamanya; berbagai zaman non-karya ini dan diterima begitu saja sebagai bagian dari musik (seperti hal lainnya), tetapi ini menghilangkan sengat yang ditimbulkan oleh garda depan. Lalu, apa, spesialnya tentang modernitas kedua  yang mengklaim dirinya unuk menawarkan inovasi yang asli, tidak sesederhana versi penyempurnaan dari konstruksi ideal “klasikal”? Modernitas kedua berusaha untuk membuat multi-perpektif, sebagai contoh, karya-karya non-reduksionis (yang telah hampir tidak mungkin pada standar modern sejak Perang Dunia Kedua) dan mengolah gaya integral yang ideal. Tetapi ini dipelajari di modernitas klasik, garda depan, dan secara luar biasa terlihat seperti – juga dari posmodernitas: tiga dimensi dari pembedaan yang diperiksa oleh Lehmann – karya, media dan refleksi – tidak lagi membentuk sebuah kesatuan, seperti yang diharapkan oleh Schoenberg, tetapi ada dalam diferensial, orang bisa mengatakan hubungan dekonstruktif antara satu sama lain. Setiap area dapat memperoleh dominasi parsial tergantung pada penekanan, intensitas, tradisi dan selera. Tidak dapat disangkal – dan ini yang mengatur secara fundamental terpisah dari posmodernitas – perbedaan-perbedaan ini harus substansial, mereka harus konstruktif dan terkonstruksi; perbedaan dapat diidentifikasi sendiri secara teknis. Modernitas kedua dengan demikian tidak sesederhana versi kedua dari sesuatu yang familiar.[17]

DITERJEMAHKAN DARI: Musical Modernity From Classical Modernity up to the Second Modernity – Provisional Considerations. Ditulis oleh Cluas-Steffen Mahnkopf

 

 

[1] Harry Lehmann, “Avant-Garde Today. A Theoritical Model of Aesthetic Modernity” di Claus-Steffen Mahnkopf, ed., Critical Composition Today (=New Music and Aesthetics in 21st Century, vol. 5) (Hofheim:Wolke, 2006).

[2] Oliver Fahle, Bilder der Zweiten (= serie moderner film, vol.3) (Weimar, 2005); Peter Ruzicka “Zweite Moderne und Musiktheater,” di musik & Asthetik 30 (2004) (Ruzicka, yang mana seorang direktur artistik dari Salzburger Fetspiele pada waktu itu, memilih “Second Modernity” sebagai fokus utama dari festival pada tahun 2005); Heinrich Klotz,  Kunst im 20, Jahrhundret. Moderne – postmoderne – Zweite Moderne (Munich, 1994).

[3] Claus-Steffen Mahnkopf, Kritik der neuen Musik, Entwurf einer Musik des 21. Jahrhundrets (Kassel, Barenreiter, 1998); “Neue Musik am Beginn der Zweiten Moderne,” pada Merkur 594/595 (1998); “ Thesen zur Zweiten Moderne,” di Musik & Ashetik 36 (2005), sekarang di Mahnkopf, Die Humanitat der Musik. Essays aus dem 21. Jahrhundret (Hofheim: Wolke, 2007); “Theorie der musikalischen Postmoderne,” in Musik & Asthetik 46 (2008); “Second Modernity – An Attempted Assessment,’ di Claus-Steffen Mahnkopf et al. (eds.), Facets of the Second Modernity (=New Music and Aesthetics in the 21st Century, vol. 6) (Hofheim: Wolke, 2008).

[4] Perlakuan Lehmann terhadap istilah “garda depan”  secara jelas dibedakan dari apa yang Peter Burger temukan Theory of The Avant-Garde, diterjemahkan oleh Michael Sha (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984).

[5] Beberapa telah ...

[6] Claus-Steffen Mahnkopf, “Complex Music: Attempt at a Definition,” di Mahnkopf et al. (eds.), polyphony &Complexity (= New Music and Aesthetics in the 21st Century, vol. 1) (Hofhein: Wolke, 2002).

[7] Di sini kita berurusan dengan pertanyaan yang sangat kompleks tentang bagaimana (atau apakah) seseorang dapat memahami kebenaran dalam seni, yaitu, di luar sains. Ini cukup dalam konteks ini untuk mencatat bahwa posmodernitas secara ekspresif membuang klain akan kejujuran (“state of material” dari Adorno atau intensi untuk merubah dunia) dari modernitas klasik ke garda depan.

[8] Musik Modern Tinggi dan Garda Depan menegasi secara historis-material yang ditentukan, yang mana mereka menggantikan dalam setiap kasus dengan sebuah perkembangan yang modern dan inovatif dari Adorno “state of material” (Materialstand). Negasi ini adalah sebuah pengecualian material historis, yang mana negasi Posmodernitas, pada panggung yang kedua, ditiadakan.

[9] Wawancara dengan John Adams di Sandra Muller-Berg,”Tonal harmony is like a natural force”. Eine studie uber das Orchestererk “Harmonielehre” von John Adams (= sinefonia 4) (Hofheim: olke, 2006), hal. 224.

[10] Komentar pada kelima karakteristik di atas

  1. Karya seharusnya tidak sesederhana hiburan musikal, tapi juga, dalam arti pengkodean, alamat penikmatnya yang mengambil kenikmatan dalam bermain dengan kemungkinan-kemungkinan. Ini jelas cendrung ke arah tingkah laku.

  2. Narasi tidak semudahkriteria  posmodernisme, tapi juga modernitas kedua.

  3. Memecahkan masalah dari bentuk mungkin adalah hal yang paling sulit untuk karya posmodern, secara ini tidak mungkin untuk memediasi secara internal antara referensi-referensi ke material eksternal dan sebuah bentuk yang otonom. Solusi yang paling pintar adalah dengan mengunakan bentuk yang sudah ada pada keseluruhannya (turun ke level sintaksnya). Ini, diakui, juga membentuk sebuah kemiripan tertentu dengan kalsisime.

  4. Pertanyaannya adalah seberapa banyak material yang merujuk keluar karya. Satu kutipan, seperti pada Klaus Huber “Senfkron”, tidaklah membuat sebuah karya menjadi posmodern.

  5. Seseorang harus membedakan antara penggunaan terisolasi dari ironi dan sebuah karya dengan sebuah karakter ironi yang utuh.

[11] Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Claus-Steffen Mahnkopf, “Theorie der musikalischen Postmoderne” (catatan kaki 3).

[12] Di dalam bukunya Die fluchtige Wahrheit der Kunst: Asthetik nach Luhmann [The Elusive Truth of Art: Aesthetics after Luhmann] (Munich: Wilhelm Fink, 2006), Harry Lehmann menghadirkan sebuah estetika-estetika kejujuran yang mencoba untuk meyakinkan kejujuran di seni pasca-Adorno dan pasca-metafisika.

[13] Berikut ini adalah sebuah penjelasan dari konsepsi Gehalt dari Harry Lehmann:

 

Konsep Jerman dari “Gehalt” tidak dapat secara rinci diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Gehalt dari sebuah karya seni bukanlah sebuah “konten” tradisional yang sudah ada, namun harus dialami dan dikembangkan oleh penerima melalui proses interpretasi. Entah konten (inhalf) dan bentuk adalah hanya anti tesis yang dimediasi dengan lemah, seperti bahwa konten dapat dituangkan ke dalam bentuk, perbedaan antara Gehalt dari sebuah karya seni bahwa “konten” (Inhalt) yang mana pertama dapat di alami melalui kombinasi formal dari karya seni lalu harus diinterpretasikan kepada dunia lewat kata-kata.

 

Dari Harry Lehmann, “Avant-Garde Today. A Theoritical Model of Aesthetic Modernity,” di Claus-Steffen Mahnkopf et al., eds., Critical Music Composition (= New Music and Aesthetics in the 21st Century, vol. 5) (Hofheim: Wolke, 2006), hal. 31, catatan kaki 28.

[14] Heinrich Klotz, Kunst im 20. Jahrhundert. Moderne – Posmoderne – Zweite Moderne (Munich: C.H>. Beck Verlag, 1994).

[15] Lihat Claus Steffen Mahnkopf, “Architektur und neue Musik,” in Musik und Architektur, ed. Christoph Metzger (Saarbrucken: Pfau Verlag, 2003), pp.82-97.

[16] Ini diperkuat oleh karakterisasi Josef Hausler terhadap Ferneyhough sebagai “pertanda dari modernisme kedua” (Spiegel der neuen Musik: Donaueschingen. Chronik – Tendezen – Werkbesprechungen [Stuttgart: Metzler Verlag, 1996, p. 354). Lihat juga Claus Steffen Mahnkopf, “Neuen Musik am Beginn der Zweiten Moderne,” in Merkur 594/595 (1998), pp. 864 – 875; “Thesen zur Zweiten Moderne,” in Musik & Asthetik 36 (2005), pp. 81-91; “Die Zweite Moderne als kompositorische Praxis. Oder: Was misch mit Steven Kazuo Tkasugi verbindet,” in Orientirungen. Wege im Pluralismus der Gegenwartmusik, ed. Jorn Peter Hiekel (= Veroffentlichungen des Institutes fur neue Musik und Musikerziehung Darmstadt, Vol. 47) (Mainz; Schott Verlag, 2007). Lihat juga artikel “Zweite Moderne und Musiktheater” in Musik & Asthetik 30 (2004) oleh Peter Ruzicka (pp. 81-92), yang membuat “modernisme kedua” menjadi tema dari New Music section dari Salzburger Festspiele di tahun 2005.

 

[17] Ketika seseorang telah mengadopsi perspektif dari modernitas kedua (dengan demikian emansipasi salah satu diri baik dari modernitas pertama dan posmodernitas). kemungkinan-kemungkinan epistemologi baru muncul: pertamma, seseorang dapat bertanya apakah figur-figur terdahulu mungkin mengantisipasi beberapa karakter dari modernitas kedua. Kemudian Nono, yang mana pada waktu itu terlihat mengambil cara-cara posmodern, secara tiba-tiba menjadi pelopor modernitas kedua. Yang kedua, mengatasi keanehan filosofi sejarah posmodernitas memungkinkan kita untuk melihat bahwa setiap cara berpikir tentang seni adalah sangat mempunyai arti sejarahh yang mendalam, dan bahwa untuk setiap pertanyaan yang diajukan disini harus diambil ketika ini ditanyakan dan di dalam horizon historis yang mana seseorang menganggap untuk menjawabnya. Oleh itu saya akan berargumen  untuk sebuah pengembalian yang radikal menuju kepada cara berpikir historis yang internal. Ini menentukan untukpencerahan diri  modernitas kedua: sebagai mana ini tetap dalam proses untuk menjadi, ini membuat perbedaan besar apakah ini dirumuskan pada tahun 2000, 2005 atau 2010.

bottom of page