top of page

Membaca Kembali Perkembangan Musik “Kontemporer” (Abad ke 20 sampai Abad ke 21)

Oleh: Septian Dwi Cahyo

 

 

Sepasang  layar  disorotkan  ke  dinding  yang  mem-visualisasi-kan  sebuah  game  dengan  2 pemain musik di depannya yang bukan hanya memainkan alat musik, namun juga memainkan konsol game layaknya seperti mereka bermain playstation dan mereka saling bertanding dan proses “bertanding” itu pula bunyi-bunyi dihasilkan dan diproyeksikan ke pengeras suara. Di lain waktu, seorang komponis  muda yang bernama  Johannes Kreidler  memberi  penjelasan  tentang karyanya sebelum dimainkan, dan ia menjelaskan bahwa karya yang ia beri judul “Fremdarbeit” (Outsourcing) merupakan sebuah karya dimana ia meng-outsource orang lain (komponis dari China dan progamer dari India) untuk membuatkan karya untuknya. Untuk karya ini  ia membayar  15 USD kepada mereka dengan uang komisi karya sebesar 1500 Euro yang ia terima. Begitulah pemandangan pada karya  gamified music dari  Marko  Ciciliani  yang  berjudul  “Kilgore”  dan  juga  pada  karya  New Conceptual Music a la Johannes Kreidler.

 

Contoh-contoh diatas merupakan salah dua dari perkembangan musik saat ini yang telah mencapai tahap-tahap “radikal”, dimana musik tidak lagi dalam bentuk bunyi semata namun juga dalam “bentuk-bentuk” lainnya. Marko Ciciliani di dalam tulisannya yang berjudul “Music in The Expanded Field”  bahkan menyebutkan bahwa saat ini komponis tidak lagi hanya menuliskan nada- nada di atas kertas tetapi mereka juga melakukan programing, pengguasaan jaringan, menyolder, menjahit, staging, penggunaan perangkat lunak penyuntingan video, kamera film dan foto, bekerja dengan mikroprosesor dan lain sebagainya.1  Sedangkan Johannes Kreidler dengan berbagai presentasinya tentang New Conceptual Music yang mana ia juga membangu pondasi New Conceptual Music berangkat dari manifesto Sol Lewitt seperti menegaskan bahwa secara singkat dalam New Conceptual   Music  konsep   menjadi  lebih  penting  dari  bunyi  itu  sendiri,  dan  dalam  karya “Fremdarbeit”, konsep isu tentang “eksploitasi” dalam kerangka outsourcing merupakan hal yang “utama” ketimbang bunyinya itu sendiri.

 

Perkembangan terkini yang penulis sebutkan di atas tadi hanya merupakan salah dua dari hasil evolusi berpuluh-puluh tahun dari musik masa kini (baca: kontemporer) sejak awal abad ke 20 dimulai. Awal perkembangan “ekstrim” gramatika  musik ini  sering biasanya diidentikan dengan kemunculan aliran Wina Kedua yang berisikan Arnold Schoenberg dan murid-muridnya. Dimana pada fase ini juga Arnold Schoenberg menawarkan sebuah konsep yang “radikal” tentang pengorganisiran nada dengan formula tertentu dan “ketat”. Konsep ini biasa dinamakan dengan twelve tone series, dodecaphone, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah betul apa yang dilakukan oleh para komponis  aliran Wina Kedua merupakan pembuka pintu gerbang perkembangan “radikal” musik masa kini?.

 

Dalam sebuah ceramah tentang musik kontemporer Dieter Mack justru membeberkan fakta- fakta lain seperti dimana karya dari Maurice Ravel “Frontispice” untuk 2 piano dan 5 tangan yang diciptakan pada tahun 1918 sudah memperlihatkan perkembangan “radikal” bahasa musik sudah terjadi seperti penggunaan poliritme yang kompleks dan permainan warna yang tidak biasa. Selain itu tanda-tanda ini sudah terjadi pada aliran Futurisme sekitar tahun 1913 yang digawangi oleh Luigi Russolo dan kawan-kawan dimana emansipasi noise sudah ada pada aliran ini. Mereka sangat “memuliakan” mesin dan bahkan membuat alat yang dapat memproduksi noise. Dari contoh-contoh tersebut Dieter Mack seakan ingin menegaskan bahwa sebelum aliran Wina Kedua hadir, tanda-tanda “radikalisasi” perkembangan musik telah terjadi dan aliran Wina Kedua bukanlah satu-satunya. Dan sudah pada awal abad ke 20 keragaman estetis sudah terjadi dan berubah begitu cepat seperti yang dikatakan oleh Suka Hardjana.

 

Selanjutnya  perkembangan  musik baru  pasca  Perang Dunia  Kedua juga  tidak lepas  dari campur tangan “politis” dimana OMGUS (The Office Military Goverment, United States) memakai musik dalam upayanya mendegradasi supermasi budaya aryan setelah Nazi kalah. Salah satunya dengan menjadikan kota Darmstadt kota yang habis dibombardir pada tahun 1944 sebagai pusat musik baru atas usulan kritikus musik Wolgang Steincke untuk membuat kursus musim panas untuk musik baru. OMGUS berkontribusi menyumbang 20 persen dari dana.2  Dan Arnold Schoenberg yang sebelumnya mengungsi ke Amerika karena kondisi Perang Dunia Kedua didaulat sebagai “guru” untuk awal acara tersebut, dan nama-nama lain yang juga menjadi guru di kursus musim panas ini adalah Olivier Messiaen, Brian Ferneyhough dan lain sebagainya.

 

Dari kursus musim panas ini banyak nama-nama muncul seperti Pierre Boulez, Karlheinz Stockhausen,  dan  lain  sebagainya.  dan  dari  komponis-komponis  muda  ini  muncul  pemikiran- pemikiran baru tentang musik salah satunya adalah melanjutkan ide Arnold Schoenberg tentang twelve tone series dan Olivier Messiaen (serialisme) pada karya “Modes de Valcurs ar d’intensites lebih jauh. Fenomena ini dapat kita lihat dari karya Pierre Boulez yang mana ia mengorganisir secara deret semua materi musik seperti ritme/durasi, nada, dinamika yang berjudul “Structure 1a”. Ditempat ini pula banyak “pertemuan” dan “pertukaran” terjadi seperti pada kasus dimana Boulez mengundang John Cage untuk mempresentasikan konsepnya di kursus musim panas ini.

 

Dalam ceramahnya Dieter Mack juga membeberkan beberapa fakta lain yang mendukung perkembangan musik baru pasca Perang Dunia Kedua, yakni mulai bermunculannya ansambel- ansambel profesional seperti Ensemble Modern, Ensemble InterContemporain, Klangforum Wien dan lain sebagainya dan juga peran stasiun radio, dimana stasiun radio diwajibkan mempresentasikan musik-musik baru. Juga terdapat lembaga yang bernama Ernst von Siemens yang banyak memberi komisi  untuk komponis-komponis  musik baru.  Dan  bertahun–tahun  kemudian  juga  bermunculan tempat-tempat lain seperti Ircam (Institute de Recherche et Coordination Acoustique/Musique) yang dibangun sekitar tahun 1970an yang mana tempat ini menjadi sebuah laboratorium untuk riset musik dan juga pusat musik baru di Perancis.

 

Kembali sedikit ke belakang tentang perkembangan gramatika musik yang terjadi sekitar tahun 1940an sampai tahun 1960an, selain aliran total serial, musik ekperimental, dan lain sebagainya, kehadiran teknologi saat itu juga memberi pengaruh yang kuat dalam perkembangan musik baru. Seperti yang dituliskan oleh Tim Rutherford-Johnson dalam bukunya “Music After The Fall, Modern Composition and Culture Since 1989”  bahwa  perkembangan  teknologi, sosial,  dan politik dapat memberikan inspriasi kepada kesenian dengan dua cara, perkembangan tersebut dapat memfasilitasi atau menginspirasi mereka.3

 

Pengaruh kehadiran teknologi terhadap perkembangan musik ini dapat kita lacak pada kemunculan musique concrete di Perancis dimana kehadiran teknologi magnetic tape recorder memfasilitasi ide mereka untuk memanipulasi bunyi-bunyi konkrit yang mereka rekam dan memanipulasinya dengan cara memotong dan menyambung kembali pita rekaman, mempercepatnya, dan juga membaliknya. Karya yang terkenal dari aliran ini adalah karya dari  Pierre Schaeffer “Etude aux Chemins de Fer” dimana ia menggunakan materi bunyi konkrit dari bunyi kereta api dan dimodifikasi dengan sedemikian rupa.

 

Jika  kehadiran  magnetic  tape  recorder  memicu  munculnya  aliran  musique concrete  di Perancis, maka perkembangan teknologi elektronis juga memicu kemunculan aliran musik elektronik di Jerman dimana   para komponis menggunakan berbagai macam generator bunyi untuk mengolah berbagai bentuk gelombang untuk membuat musik. Dengan teknologi elektrionis – setidaknya secara teoritis – setiap bunyi bisa dikembangkan dan diatur dari pangkal akarnnya4 (baca: gelombang sinus). Beberapa  tokoh  di  aliran  ini  adalah  Meyer-Eppler,  Herbert  Eimert,  Karlheinz  Stockhausen  dan kawan-kawan di studio musik elektronik di Cologne. Selain kehadiran magnetic tape recorder  dan perangkat  elektronis  lainnya,  kehadiran  komputer juga  memicu  persinggungan  antara  musik dan kehadiran teknologi komputer dalam kerangka komposisi musik. Studio computer pertama di Eropa didirikan di Reijksuniversiteit Utrecth/Belandapada tahun 1964 dengan pimpinan komponis Gottfried Michael Koenig.5  Studio ini kemudian dinamakan “Institut Voor Sonologie”. Koenig juga memperdalam ilmu teknologi komputer di Universitas Bonn dimana ia mengembangkan programkomposisi “Projekt 1”.

 

Pada periode awal abad ke 20 sampai setelah Perang Dunia Kedua ini perkembangan musik baru tidak hanya terjadi di Eropa, namun juga banyak terjadi di Amerika. Di antara banyak komponis kita bisa sebut nama-nama seperti John Cage dengan ide-ide cemerlangnya seperti Prepared  Piano, konsep Chance hingga puncak keradikalannya yaitu pada karya “4.33” dimana hanya ada tacet dan pemain tidak memainkan apapun selama 4  menit 33 detik, dan menurut Harry Lehmann dalam ceramahnya bahwa karya ini adalah karya pelopor dari Conceptual Music. Selain Cage, kita bisa menemukan nama-nama lain seperti  Milton Babbit yang mana ia dekat dengan konsep “serialme”. Juga ada seorang komponis bernama Harry Partch dengan ekperimentasinya dalam membuat alat-alat musiknya sendiri yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi mikro. Hasil dari instrumen-instrumen ciptaannya ini kita bisa dengar dalam karya “Delusion of The Fury”. Nama-nama lain komponis yang juga penting adalah Lou Harrison, Conlon Nancarrow, George Crumb hingga Phillip Glass.

 

Jika pada awal abad ke 20 sampai setelah Perang Dunia Kedua aspek “Avant-Garde” yang menurut Mahnkopf mempunyai dua aspek seperti: pertama, percobaan untuk mengembangkan secara orisinil sebuah bentuk musik yang baru, yang sebelumnya tidak ada dan tidak dapat lagi dievaluasi dan dimengerti melalui kriteria tradisional, dan kedua partisipasinya di dalam ide dari perubahan dunia,  sejauh  musik  ini  dimaksudkan  untuk  menandai  budaya  baru  dari  mendengarkan  dan kenikmatan  dalam kemanusiaan.6 Dan aspek “Modernitas” seperti progresi teknikal dan keotonomian artistik sangat mendominasi. Maka, pada tahun 1970an di balik progresi musikal yang bercirikan “Modernitas” seperti Spektralisme (Gerard Grisey), Stochastik (Iannis Xenakis), Musique Concrete Instrumentale (Helmut Lachenmann), Kompleksisme (Brian Ferneyhough), dan lain sebagainya, terdapat pula karya-karya lain yang dekat dengan estetika “Posmodernisme”.

 

Menurut Claus-Steffen Mahnkopf karya-karya yang dekat dengan estetika posmodernisme ini hadir karena berbagai perkembangan dari awal abad ke 20 khususnya yang ia “kalsifikasi” sebagai Modernisme Pertama, yang mana ditolak oleh posmodernitas setelah ini terlihat terlalu mengarah kepada pemujaan berlebihan dan seringkali didiskusikan sebagai akhir dari sejarah seni. Ia juga memetaka karakteristik dasar karya musik “Posmodern” menjadi lima karakteristik yaitu:

 

1.  Karya musik posmodern itu hedonistik; ini menunjukan sebuah kenikmatan dari imajinasi kombinasinya dengan kesembronoan yang unik terhadap musik; penerimaannya terjadi dalam mode kenikmatan (sebagai contoh, karya Mauricio Kagel, Match).

2.   Karya musik posmodern adalah naratif; ini menghadirkan naratif musikal, bukanlah komposisi bunyi atau struktur (sebagai contoh, karya Wolfgang Rihm, Musik fur drei Streicher).

3.   Karya musik posmodern secara formal sangat heteronom, sebagai contoh, kesulitan masalah dari bentuk terpecahkan, dan ini dicapai melalui sebuah koneksi yang kuat terhadap bentuk-bentuk yang berfungsi dan ada sebelumnya (sebagai contoh, karya Gyorgy Ligeti, Passacagia  ungherese).

4.   Karya musik posmodern merujuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri; materialnya diambil  dari  musik  lain  (sebagai  contoh,  karya  Alfred  Schinttke,  Third  String Quartet).

5.   Karya  musik  posmodern  itu  ironis,  dan  dengan  demikian  mendorong  kejujuran artistik menuju sebuah distorsi dari kejujuran dan memperlihatkan bahwa apa yang dihadirkan adalah tidak dimaksudkan seperti yang seharusnya dihadirkan (sebagai Contoh, Karya Thomas Ades, Bhrams).7

 

Kita  dapat  menemui  banyak  karya  musik  yang  dekat  dengan  karakteristik-karakteristik estetika posomodern seperti pastische, parody, kitsch dan lain sebagainya pada tahun 1970an dan setelahnya. Sebagai contoh kita bisa mendengarkan karya-karya dari Alfred Schnittke dimana ia mengusung konsep multigaya yang mengutip banyak musik-musik dari masa lampau maupun budaya populer dan kesan struktural di karya menjadi sangat heteronom seperti kita mendengarkan 10 stasiun radio berbeda secara bersamaan. Selain Schnittke terdapat pula komponis Amerika yang bernama Michael Daugherty seperti di karya “Elvis Everywhere” dimana ia “menempelkan” gaya musik Rock n’ Roll a la Elvis. Terdapat pula John Adams yang dalam sebuah wawancara di dalam video dokumenter keluaran BBC “The Sound and The Fury” ia mengatakan bahwa dirinya adalah komponis “Posmodern”. Juga kita bisa mendengarkan karya yang mengutip musik dari budaya populer seperti pada karya Philip Glass “Low Symphony” dimana ia “mendaur ulang album dari David Bowie “Low”.

 

Posmodernisme, menurut Lehmann, memberontak melawan orentasi menuju negasi, permasalahan-permasalahan dan ketidakmungkinan dan pematahan tabu-tabu ini; ini menegasi penegasian dari media dengan membuat semua media –dari material, sebagai contoh, semua gaya musik secara historis dan global adalah mungkin.8  Karakteristik “keragaman” karya-karya komponis “posmodern ini sekilas sangat begitu menarik dengan bagaimana mereka memecah “dikotomi” antara budaya tinggi dan budaya masa yang menjadikan musiknya begitu berwarna. Namun, komponis Claus-Steffen Mahnkopf mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutnya, Sebagaimana budaya hari ini berlanjut menjadi posmodern, dan dengan demikian “memainkan permainan ironi dengan senang hati” dan diarahkan pada “hiburan”.9  Oleh karena itu ia menawarkan “jalan keluar” yang ia beri nama “Modernitas Kedua” yang menjadi “anti tesis” dari karya musik posmodern.

 

Di musik, Modernitas Kedua adalah sebuah pendekatan yang mematahkan dasar keyakinan dari posmodernitas. Utamanya adalah kepercayaan bahwa materi musik yang modern, baru, dan inovatif tidak lagi mungkin dan oleh karena itu segala macam material, terlepas dari sejarahnya, gaya dan  fungsi  konteksnya  sama-sama  dapat  digunakan,  dan  karena  alasan  ini  gaya  konsistensi  diri dengan referensi ke masa kini tidak mungkin dan tidak diinginkan.10  Mahnkopf berargumen bahwa bagi modernitas kedua tidaklah sesederhana gerakan balasan atas posmodernisme dan solidaritas akan moderisme tinggi; sejauh itu berkembang, itu akan membawa karakteristik estetika baru, dengan harapan,  memiliki  masa  depan.11   Melaui  pernyataan-pernyataan  ini  seakan  ia  ingin  menegaskan bahwa apa yang terjadi pada musik-musik posmodern hanya “berputar-putar” tanpa ada arah “kemajuan” yang jelas, oleh karena ini sepertinya bagi Mahnkopf Modernitas Kedua ini menjadi jalan keluar agar musik dapat menghasilkan inovasi lagi, mempunyai keotonomian artistik dan bergerak ke depan.

 

Mahnkopf juga menjabarkan empat karakteristik dari “cara kerja” komponis-komponis yang ia daulat sebagai bagian dari komponis Modernitas Kedua. Berikut adalah empat kategori nilai-nilai yang umum dari para komponis Modernisme Kedua:

 

1.   Mereka   mengkomposisi  karya  (baca:   karya  musik).  Dan  juga  melakukannya bersamaan dengan keterlibatan kritis dengan konsep karya. “Karya” berarti entitas yang dikonstruksi, melalui penyusunan dengan batasan internal dan eksternal yang jelas, bukan sebuah pengaturan eksperimental dengan hasil yang tidak pasti. Pengalaman  Garda  Depan  bahwa  karya  juga  bermasalah  tidak  masuk  ke  dalam bentuk itu, tetapi lebih kepada resistensi, ekspresi yang menyimpang dari musik.

2.   Mereka  mengkonstruksi  material  mereka  sebagai  sebuah  material  yang  otonom.

Perbedaan antara modernitas kedua dengan modernitas pertama disini adalah bahwa sekarang progres dari material, inovasi material, dan fiksasi – yang juga direduksi sebagai atau kepada gaya seseorang tidak lagi menjadi pusat perhatian. Itu diterima begitu saja bahwa materinya  modern, namun bisa, tergantung pada karya; Harry Lehmann berkata: berdasarkkan Gehalt dari karya.12  Kesuksesan estetis dari sebuah karya tidak sedikit tergantung pada sebuah persetujuan antara material-material yang dipilih dan konsepsi karya, dan ini adalah konsepsi yang mengatur konstruksi dari material. Ini meyakinkan bahwa material adalah bukan seperti posmodernisme yang ditangani secara sewenang-wenang.

3. Para komponis modernitas kedua menganggap sikap kritis terhadap budaya kontemporer, dan oleh karenanya tidak dimotivasi dengan kepentingan karir. Mereka tertarik  kepada  perkembangan  dari  gaya  pribadi  mereka,  kepuitisan  mereka,  dan hidup karya mereka, tidak sekedar memuaskan kepentingan mutakhir. Sebagaimana budaya hari ini berlanjut menjadi posmodern, dan dengan demikian “memainkan permainan ironi dengan senang hati” dan diarahkan pada “hiburan”, seni modernitas kedua menempatkan dirinya sebagai oposisi dari hal tersebut dan menekankan pada keseriusan dan kejujuran artistik.

4.   Para komponis modernitas kedua telah tercerahkan secara estetis di dalam pemikiran mereka dan waspada terhadap teknik komposisi mereka. Yang sebelumnya berarti bahwa mereka bekerja pada aporiae  yang tidak terpecahkan dari posmodernisme (namun juga modernisme klasik dan garda depan) sebagai masalah, yang terakhir bahwa ini terjadi tidak hanya dalam hal folosofi artistik itu sendiri, sehingga untuk berbicara  sebagai  deklarasi  niat,  tetapi  lebih  dalam  proses  melalui  rasionalitas tindakan komposisi.

 

Setelah kita menyusuri perjalanan musik baru dari awal abad ke 20 sampai pada tawaran Mahnkopf  tentang  Modernisme  Kedua,  kita  dapat  melanjutkan  untuk  menyusuri  perkembangan lainnya diantara “dialektika” besar Modernisme Pertama  – Posmodernisme – Modernisme Kedua. Kembali sedikit ke belakang, kita bisa menemukan sebuah gagasan radikal yang ditawarkan oleh Helmut  Lachenmann  yang  ia  beri  nama  musique concrete  instrumentale  melalui  konsep  musik concrete instrumentale ini Lachenmann membuka horizon di wilayah gramatika musik dan perluasan gramatika musik itu juga  berpengaruh terhadap cara pemain memainkan instrumen musiknya dimana Lachenmann   merombak   teknik   permainan   instrumen-instrumen   musik   konvensional   untuk menghasilkan bunyi-bunyi yang ia inginkan. Di Perancis terdapat juga aliran Spektral yang berangkat dari analisa overtone series  dalam mengorganisir nada dan juga menerapkan teknik-teknik musik elektronik pada akustik. Spektralisme juga menjadi sebuah “anti tesis” dari tradisi musik Barat itu sendiri yang selalu menjadikan motif sebagai titik berangkat dan lebih mengutamakan mengolah timbre. Selain dua konsep tadi, tentunya terdapat banyak konsep lainnya yang juga berkembang antara

1960an sampai awal abad ke 21 seperti musik Stokhastik, Musik Minimalis, Kompleksisme, Kompleksisme Baru dan lain sebagainya.

 

Pada abad ke 21 ini karya-karya musik sangat beragam adanya dan seperti “didominasi” oleh persinggungan dengan teknologi terkini dan juga persinggungan dengan media-media lain di luar musik.  Persinggungan  dengan  teknologi  mutakhir  ini  bisa  kita  lihat  dari  fenomena  penggunaan artificial  intelegence, super komputer; bahkan penggunaan virtual  reality  dalam membuat musik. Sebagai contoh adalah karya dari Rob Hamilton “Quartet I” untuk virtual kwartet gesek, dimana instrumen musik virtual  reality  mengekplorasi penerjemahan gestur permainan dan mekanik bow instrumen gesek ke dalam sebuah implementasi inheren secara non fisik. Penggunaan virtual reallity ini juga dapat kita lihat pada karya instalasi dari Alexander Schubert yang berjudul “Control”. Selain persinggungan dengan teknologi digital mutakhir tadi, terdapat juga persinggungan-persinggungan dengan media lain seperti pada aliran The New Discipline yang diusung oleh Jennifer Walshe.

Menurut  Jennifer  Walshe,  “The New Discipline  adalah  istilah  yang  saya  adopsi  selama setahun terakhir. Istilah ini berfungsi sebagai cara saya untuk menghubungkan komposisi-komposisi yang memiliki berbagai kepentingan yang berbeda tetapi semuanya memiliki kepedulian yang sama karena berakar pada fisik, teater, dan visual, serta musikal; potongan-potongan yang sering meminta ekstra-musik, yang mengaktifkan non-koklea.13 Jika kita melihat karyanya ataupun karya dari Jagoda Szmytka, sudah sulit sekali mendeteksi bahkan “memisahkan” apakah ini karya musik, teater atau visual.

 

Perbedaan  yang  mencolok  karya-karya  dari  The New Discipline  atau  sebutan  lain  yang barangkali sama tujuan dalam menjelaskan fenomena yang serupa adalah Music in The Expanded Field  yang  dilontrakan  oleh  Marko  Ciciliani  dengan  karya  kolaborasi  lintas  disiplin seni  pada biasanya  adalah  bahwa  para  seniman  ini  menyadari  visual  atau  elemen  performatif  dari  proyek mereka, sendiri; atau – jika mereka berkolaborasi dengan seniman lain mereka biasanya sudah mengembangkan ide karya yang konkrit secara keseluruhan terlepas dari seniman lain yang terlibat.14

 

Keterlibatan media lain seperti visual sendiri sebetulnya sudah lama terjadi seperti yang Marko Ciciliani jelaskan pada ceramahnya tentang musik audio visual yang mana pada karya “Prometheus” dari komponis Rusia Alexander Scriabin persinggungan bunyi dan visual/warna sudah terjadi. Namun, pada abad ke 21 ini penggunaan materi visual dan juga media lainnya telah mencapai keragaman  dan  kemungkinan  yang jauh sekali seperti  live  visual  pada  karya  “Via”  dari  Marko Ciciliani ataupun karya gamified music seperti pada karya Marko “Kilgore” ataupun Alysa Aska “Verscleierte”.

 

Kita juga bisa menemukan persinggungan model lain pada penggunaan jaringan internet pada proyek karya partisipatif dari Alexandre Schubert yang bernama wiki-piano. “Wiki Piano Net” adalah sebuah komunitas interaktif berdasarkan karya piano dari Alexander INOPPOR. Website “wiki- piano.net” sendiri merupakan “notasi” dari karyanya, dan ini terdiri dari beberapa bagian, beberapa bagian merupakan bagian yang sudah pasti dan beberapa bagian merupakan bagian yang bisa diubah- ubah. Pianis akan memainkan dengan membaca dan mengucapkan semua yang ada di website dari bagian atas hingga bagian bawah website. Dan para pengunjung website dapat merubah “notasi” dari karya ini secara berkelanjutan. Dan ketika pianis akan melakukan pertunjukan lagi, maka pianis akan membuka website “wiki-piano.net” dan akan memainkan material yang tertulis di dalam notasi yang berbentuk website ini yang pastinya telah berubah-ubah sesuai dengan kondisi terkininya setelah dikunjungi dan dirubah oleh berbagai orang.

 

Perkembangan   di   musik   baru   yang   “terbaru”   ini   pun   tidak   semata   hanya   dengan persinggungan teknologi dan media lain. Namun juga dari gramatika musiknya itu sendiri. Dalam hal ini kita bisa menengok aliran saturation di Perancis yang digawangi oleh Raphael Cendo, Yann Robin dan kawan-kawan. Jika pada musique concrete instrumentale a la Lachenmann penggunaan materi noise masih sangat bisa ditelaah dan diikuti (baca: audible), maka pada aliran Saturation ini bunyi- bunyian yang dihasilkan dengan instrumen maupun dengan kombinasi elektronis membuat kita kehilangan “arah” karena kepadatan dan “kegilaan” informasi bunyi yang diberikan pada waktu yang bersamaan.

 

Hal-hal di atas merupakan pembacaan kecil yang coba penulis tuliskan yang tentunya tidak mampu sepenuhnya merepresentasikan semua yang terjadi pada perkembangan musik baru dari awal abad  ke  20  sampai  ke  21.  Usaha-usaha  pembacaan  kembali  perkembangan  musik  baru  di atas hanyalah sebuah usaha untuk menelusuri tiap-tiap pemikiran dan produk komposisi musik yang telah terjadi selama lebih dari 100 tahun?. Yang pasti, apa yang penulis tuliskan di atas mungkin hanyalah 10% dari apa yang sudah terjadi selama ini. Namun, penulis berharap, dari apa yang telah penulis jaabarkan, kita dapat melihat bagaimana proses dialektika yang terjadi di musik baru, juga bagaimana peran perkembangan sosio kultur dan teknologi berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan musik baru. Semoga kita tetap bisa mendengarkan kejadian-kejadian baru yang mengejutkan dalam perkembangan musik baru di seluruh dunia.

 

Yogyakarta, 17 April 2019

 

1. Marko Ciciliani. Music in Expanded Field – On Recent Approaches to Interdisciplinary Composition. Hal. 27

2. Alex Ross. The Rest Is Noise. hal. 256.

3 Tim Rutherford-Johnson. 2017. Music After The Fall Modern Composition and CultureSince 1989. Hal 17.

4 Dieter Mack. Sejarah Musik 4. Hal. 51

5 Loc.cit

6 Claus-Steffen Mahnkopf. Musical Modernity From Classical Modernity up to Second Modernity – Provisional

Consideration. Hal 3.

7 Ibid. Hal 5.

dalam esainya juga memberikan tambahan komentar pada kelima karakteristik di atas

1.    Karya seharusnya tidak sesederhana hiburan musikal, tapi juga, dalam arti pengkodean, alamat penikmatnya yang mengambil kenikmatan dalam bermain dengan kemungkinan-kemungkinan. Ini jelas cendrung ke arah tingkah

laku.

2.    Narasi tidak semudah kriteria  posmodernisme, tapi juga modernitas kedua.

3.    Memecahkan masalah dari bentuk mungkin adalah hal yang paling sulit untuk karya posmodern, secara ini tidak mungkin untuk memediasi secara internal antara referensi-referensi ke material eksternal dan sebuah bentuk yang

otonom. Solusi yang paling pintar adalah dengan mengunakan bentuk yang sudah ada pada keseluruhannya (turun

ke level sintaksnya). Ini, diakui, juga membentuk sebuah kemiripan tertentu dengan kalsisime.

4.    Pertanyaannya adalah seberapa banyak material yang merujuk keluar karya. Satu kutipan, seperti pada Klaus

Huber “Senfkron”, tidaklah membuat sebuah karya menjadi posmodern.

5.   Seseorang harus membedakan antara penggunaan terisolasi dari ironi dan sebuah karya dengan sebuah karakter ironi yang utuh.

8 Ibid. Hal 11. 

9 Ibid. Hal 8.

10 Ibid. Hal 7.

11 Loc.cit

12 Berikut ini adalah sebuah penjelasan dari konsepsi Gehalt dari Harry Lehmann:

Konsep Jerman dari “Gehalt” tidak dapat  secara rinci diterjemahkan ke dalam bahasa  Inggris. Gehalt dari sebuah karya  seni bukanlah sebuah “konten” tradisional yang sudah ada, namun  harus  dialami dan dikembangkan oleh penerima melalui proses interpretasi. Entah  konten (inhalf) dan bentuk  adalah  hanya anti tesis yang dimediasi dengan lemah, seperti bahwa konten dapat  dituangkan ke dalam bentuk, perbedaan antara Gehalt dari sebuah karya  seni bahwa “konten” (Inhalt) yang mana pertama dapat  di alami melalui kombinasi  formal dari karya  seni lalu harus  diinterpretasikan kepada  dunia lewat kata-kata.

 Dari Harry Lehmann, “Avant-Garde Today. A Theoritical Model of Aesthetic Modernity,” di Claus-Steffen Mahnkopf et al., eds., Critical Music Composition (= New Music and Aesthetics in the 21st Century, vol. 5) (Hofheim: Wolke, 2006), hal. 31, catatan kaki 28

13 Diakses dari  www.borealisfestival.no/2016/the-new-discipline-4/ . di akses pada tanggal 14/04/2019.

14 Marko Ciciliani. Music in Expanded Field – On Recent Approaches to Interdisciplinary Composition. Hal. 24.

bottom of page